Saat saya mengajar di salah satu kelas, saya mendekati salah seorang siswa yang memenangi salah satu cabang lomba dalam Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) tingkat kabupaten tahun ini. Di dekat telinganya, saya berbisik, "tentangmu akan saya tulis, ya?"
Ia hanya tersenyum sembari menatap saya. Senyumannya, bagi saya, tanda sebuah persetujuan. Tak hari itu saya hendak menulis tentangnya. Tapi, setidaknya, saya sudah mendapat persetujuan (lewat bahasa isyarat) terlebih dulu.
Keinginan menulis tentangnya berawal dari ketika saya menjemputnya bersama teman-temannya di lokasi FTBI, di Pusat Belajar Guru (PBG) Kudus, Jawa Tengah, yang jaraknya sekitar 5-6 kilometer dari sekolah kami.
Saat itu, kegiatan FTBI sudah selesai. Makanya, saya diminta oleh teman guru yang menjadi pendamping mereka untuk menjemput. Tujuh siswa yang mengikuti FTBI, enam meraih juara. Enam siswa memegang trofi, satu tidak. Yang satu ini menangis.
Yang menangis itulah yang menyedot perhatian kami. Saya termasuk yang turut menyemangati. Bahasa klasik guru saat siswanya belum memegang trofi kemenangan, "tetap semangat ya, masih panjang perjalananmu".
Dari enam yang memegang trofi, terhadap satu siswa yang tiba-tiba dari mulut teman-temannya tersambar dengan istilah "nadar". Awalnya, saya belum mengerti maksudnya. Beberapa saat kemudian, saya baru mengerti.
Ternyata ada satu siswa kami yang memegang trofi memiliki nadar, atau dalam kata baku ditulis nazar. Waktu itu, saya tak hendak segera ingin mengetahui nazarnya. Karena dalam kendaraan mereka membicarakan hal itu, saya akhirnya mengetahui juga.
Ini yang kemudian saya tertarik untuk menulisnya. Nazarnya adalah ia akan berjalan kaki dari lokasi festival (baca: lomba) hingga rumahnya jika menang lomba.
Dan, memang menang. Tapi, nazar tak dipenuhi pada saat saya menjemput mereka. Ia masih bersama teman-temannya naik kendaraan yang saya kemudikan menuju ke sekolah. Raut wajah mereka terlihat suka cita, kecuali yang satu --meski sesekali tersenyum, tapi terlihat dipaksakan.
Baru pada lain kesempatan nazar itu dipenuhi. Saya melihat langsung. Hal itu dilakukan bersamaan dengan waktu penyerahan trofi secara resmi kepada pemenang oleh Kepala Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (Kadisdikpora) yang diselenggarakan di lokasi yang sama dengan saat lomba.