Sekolah mendatangkan karyawan perusahaan tersebut yang menangani pengomposan. Siswa dibimbing dalam pengomposan. Karyawan perusahaan tersebut, dalam hal ini, dapat menjadi guru bagi siswa di sekolah tempat saya bekerja.
Pun demikian diberlakukan untuk tema-tema yang lain yang sudah diangkat dalam pembelajaran P5. Keterbatasan sekolah, dengan demikian, dilengkapi oleh kelompok masyarakat atau badan yang terampil di bidangnya.
Saya pikir, semua sekolah melakukan hal yang sama seperti sekolah tempat saya mengajar ketika melaksanakan pembelajaran P5. Yang, kebetulan mengangkat tema dan topik yang belum dikuasai oleh sekolah. Peran masyarakat, dalam hal ini, tak dapat diabaikan oleh sekolah.
Ini semua mau menunjukkan bahwa sekolah membutuhkan peran masyarakat dalam proses pembelajaran. Kebutuhan demikian sebetulnya sudah lama dilakukan. Tapi, sejak diberlakukannya pembelajaran P5, frekuensi sekolah menggandeng masyarakat lebih banyak.
Dari situ, entah kita sadari atau tidak, sejak pemberlakuan pembelajaran P5, sekolah semakin dekat dengan masyarakat. Di sekolah tempat saya mengajar, misalnya, nyaris di hampir setiap pembelajaran P5 melibatkan peran masyarakat, baik perorangan maupun kelompok.
Dan, sebetulnya, semangat mendidik siswa dalam bentuk kerja sama antarbeberapa pihak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terutama, mengenai tripusat pendidikan yang  meliputi tiga hal, yakni pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat.
Kerja sama mendidik siswa dalam konteks perundangan tersebut (tentu saja) harus dipahami sebagai usaha bersama-sama. Tak terpisah-pisah. Sekalipun ada saatnya terpisah. Tapi, mendidik siswa secara bersama-sama lebih terasa hasilnya.
Apalagi ketika dihubungkan dengan pembangunan karakter anak. Pembelajaran P5 yang melibatkan peran masyarakat dan (tentu juga) orangtua kekuatannya lebih dahsyat dalam membangun karakter anak ketimbang hanya diperankan oleh guru.
Masyarakat dan orangtua tentu sangat menguasai tema-tema proyek dalam pembelajaran P5 yang sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Karena mereka merupakan pelaku atau praktisi.
Maka, enam dimensi profil pelajar Pancasila yang dihayatkan terhadap siswa melalui peran serta masyarakat dan orangtua, baik langsung maupun tak langsung, dipastikan sangat mengena.
Tambahan, dalam pembelajaran P5, siswa terlibat langsung sejak perencanaan, pelaksanaan, penyelesaian, hingga pelaporan proyek, yang artinya mudah-sulitnya, suka-dukanya, berat-ringannya siswa merasakan. Maka, enam dimensi profil pelajar Pancasila diyakini lebih mudah merasuk ke dalam diri siswa.