Si ragil tiba-tiba mengatakan bahwa ada (salah) satu teman sekolahnya yang pindah alamat satu tahun lalu mendekati salah satu sekolah menengah favorit.
Si ragil, yang sebentar lagi masuk ke jenjang sekolah menengah, tampaknya sudah mengetahui tujuan kepindahan satu temannya itu.
Saya terkejut. Sebab, hal ini bukan mustahil si ragil mengaitkannya dengan penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Pengetahuan tentang ini sepertinya (memang) sudah diketahui oleh anak-anak seusia si ragil. Bukankah mereka sering lebih pintar daripada orangtua?
Sehingga, ketika si ragil menyampaikan hal itu disertai raut wajah dan nada bicara kurang bersahabat, saya menandainya sebagai hal yang wajar. Mungkin ia merasa iri.
Sebab, saya yakin si ragil sudah menghitung-hitung tentang jarak rumah ke sekolah favorit tersebut. Jarak rumah kami lebih dekat ketimbang jarak rumah satu temannya itu.
Tetapi, karena satu temannya itu pindah (alamat) mendekati lokasi sekolah favorit yang dituju, sudah pasti ia masuk melalui jalur zonasi.
Dalam pengakuannya kemudian, ada beberapa temannya yang (lain) melakukan hal yang sama. Anak-anak memang tidak mudah menyimpan sesuatu yang semestinya dirahasiakan kalau sudah berkumpul.
Sebab, boleh jadi hal itu justru dianggapnya sebagai kebahagiaan. Karena dengan kepindahan, mereka berpikir sangat bisa diterima di sekolah tujuan. Bukankah ini sebagai kebahagiaan?
Dalam konteks ini, ada dua alasan kepindahan. Pertama, kepindahan hanya sekadar agar anak diterima di sekolah tertentu melalui jalur zonasi. Kedua, kepindahan karena pindah rumah atau pindah domisili.
Kepindahan karena alasan yang pertama boleh jadi hanya anaknya yang dipindahkan. Yang demikian, anak dapat dititipkan ke kartu keluarga (KK) saudara.
Tetapi, bisa juga dititipkan ke KK teman. Yang tentu saja keduanya, saudara atau teman, memang ber-KK di dekat lokasi sekolah tujuan.
Kepindahan karena alasan kedua bukan karena kepentingan anak bisa diterima di sekolah tertentu. Tetapi, karena memang pindah tempat tinggal.
Kalau kebetulan lokasi pindah tempat tinggal dekat dengan lokasi sekolah yang dituju dan anak diterima di sekolah itu, tentu karena faktor keberuntungan.
Agaknya kepindahan karena alasan pertama, kini, sudah menjadi rahasia umum. Artinya masyarakat sudah mengetahui.
Anak diikutkan KK saudara atau teman dekat orangtua yang berada di dekat lokasi sekolah favorit yang dituju, sudah biasa.
Saya meyakini, sekolah pun sudah mengetahui. Tetapi, sekolah tidak bisa berbuat apa-apa. Secara normatif, sekolah menerima anak yang bersangkutan karena memang persyaratannya terpenuhi.
Bahkan, kalau tidak menerimanya, sekolah disalahkan. Orangtua bisa menuntut ke ranah hukum pihak sekolah. Dan, tentu saja sekolah menerima konsekuensi hukum.
Ini yang terjadi ketika PPDB masih menggunakan jalur zonasi. Ada celah yang dimanfaatkan untuk mengubah data kependudukan.
Bahwa adanya masa berlakunya KK untuk salah satu syarat pendaftaran dapat disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Tentu saja ketika pemerintah membuka jalur zonasi dalam PPDB bertujuan baik. Sebab, ingin mendekatkan anak dengan sekolah tempat mereka belajar.
Dengan begitu, anak tidak jauh-jauh menempuh perjalanan pergi dan pulang sekolah. Sehingga, anak-anak dapat mengikuti kegiatan akademik dan non-akademik tidak terlampau lelah karena jarak tempuh dekat.
Pun mereka terjamin keamanannya karena mereka berada di lingkungan masyarakat yang mereka sudah mengenalnya. Belajar dalam kondisi yang demikian itu yang diharapkan pemerintah.
Namun, adanya jalur zonasi ternyata belum diikuti secara benar oleh masyarakat. Sebab, sikap memfavoritkan sekolah hingga kini masih melekat dalam diri masyarakat.
Sekolah-sekolah yang ketika jalur zonasi belum ada sudah difavoritkan, selama jalur zonasi berlangsung sikap memfavoritkan sekolah masih juga melekat. Ini yang kemudian mendorong sebagian masyarakat bersikap kurang jujur pada setiap PPDB.
Jika kebijakan ini tidak ditinjau ulang tentu merugikan sebagian masyarakat yang lain. Sebab, ada kejadian yang menimpa anak gagal masuk sekolah dekat lokasi rumahnya.
Anak yang berdomisili sejak lahir dekat dengan lokasi sekolah tidak diterima di sekolah tersebut karena tergeser oleh anak yang baru pindah KK --entah diikutkan saudara atau kolega orangtua-- setahun yang lalu yang lokasi alamatnya lebih dekat dengan lokasi sekolah.
Entah disadari atau tidak, cara yang seperti itu telah membentuk sikap anak tidak jujur. Tentu ini kontraproduktif dengan upaya orangtua (sendiri) menyekolahkan anaknya.
Memulai dari cara yang kurang jujur dalam diri anak, boleh jadi menjadi titik awal yang dapat menghancurkan masa depan anak. Sikap seperti ini sangat disayangkan karena justru "melukai" mental anak.
Oleh karena itu, sudah seharusnya masyarakat (baca: orangtua) memastikan "jalan benar" bagi anaknya dalam meraih masa depan. Dengan cara, menghindari sikap yang seolah membantu anak, tetapi sebenarnya (justru) melemahkan anak.
Pun demikian sudah seharusnya pemerintah meninjau ulang jalur zonasi PPDB sehingga tidak ada lagi celah yang dapat disalahgunakan oleh sebagian masyarakat untuk memuluskan ikhtiarnya, yang sebetulnya jalan terlarang.
Dengan begitu, ke depan PPDB menjamin semua anak mendapat bagiannya dalam mengenyam pendidikan secara adil dan semestinya. Melalui mengedepankan data-data yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H