Sementara itu, saya kira (juga) taplak yang diikat terinspirasi oleh cemeti yang kadang digunakan oleh pemain kesenian barongan. Yang, memang beberapa murid kami ada yang ikut berkesenian barongan.
Petasan di bulan Ramadan  --saat ini memang bulan Ramadan---dan cemeti merupakan dua konteks yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Yang, kemudian boleh jadi merangsang mereka --entah berapa murid-- untuk memanfaatkan taplak meja. Dan, membentuknya menjadi media untuk memunculkan bunyi menyerupai petasan. Dan, hebatnya, berhasil!
Keusilan itulah yang kemudian membuat teman guru meminta salah seorang murid yang diketahui "memainkan" untuk mencobanya di depan kelas. Sayang, murid ini tidak mau. Mungkin karena ia malu atau takut.
Maka, dibawalah taplak yang digunakan untuk berbuat usil tersebut ke ruang guru. Beberapa guru, termasuk saya, melihatnya. Dan, kami  mendengarkan dengan saksama cerita teman guru mengenai muridnya yang berperilaku usil itu.
Karena ada bagian yang diceritakan menyebut bahwa murid yang bersangkutan tidak mau mempraktikkan "permainannya" di depan kelas, maka kami penasaran.
Seorang teman guru akhirnya mencoba memainkannya. Caranya, cukup dengan mencambukkan taplak yang sudah diikat ke udara. Tetapi sayang, tidak menimbulkan bunyi.
Namun, setelah beberapa kali mencoba, terdengarlah bunyi seperti bunyi cambukan cemeti. Agak menyerupai bunyi petasan yang berukuran kecil.
Saya dan beberapa guru, termasuk beberapa guru wanita, turut mencoba. Ada yang berhasil. Ada juga yang tidak berhasil. Pada titik inilah muncul kelakar di antara kami.
Begini, teman-teman guru yang berlatar belakang dari desa pasti bisa sebab rerata pada masa kecilnya menjadi penggembala. Dan, penggembala identik dengan cemeti.
Sementara itu, teman-teman guru yang berlatar belakang dari kota dipastikan tidak bisa. Bagaimana mungkin bisa kalau menjadi penggembala saja tidak pernah.