Gambaran ini persis seperti yang dialami oleh murid-murid di sekolah tempat saya mengajar. Menunggu muncul semangat belajar seperti ketika sebelum pandemi hingga kini belum berhasil. Murid-murid masih belum move on. Ya, itu tadi, masih berproses.
Padahal, masuk sekolah tatap muka sudah setahun lebih. Tetapi, toh begitu, belum pulih seperti dulu-dulu lagi. Kurikulum darurat dan kini sebagian untuk tingkat kelas sudah diberlakukan kurikulum merdeka, ternyata belum banyak membawa perubahan atau lebih tepatnya pemulihan pendidikan.
Kira-kira seperti itu alasan bahwa orang yang ikut tarawih pada Ramadan kali ini belum sebanyak dulu-dulu lagi. Ini setidaknya yang saya ketahui di musala dekat rumah kami. Mungkin tidak demikian di musala atau masjid yang lain.
Tetapi, sekalipun begitu, saya masih bisa melihat orang-orang yang pergi dan melaksanakan tarawih. Khususnya di musala dekat rumah kami.
Saya melihat outfit tarawih mereka masih seperti dulu. Yang wanita mengenakan mukena. Yang laki-laki mengenakan baju dan sarung.
Ketika saya menanyakan perihal pakaian tarawih kepada beberapa tetangga yang mengikuti tarawih, mereka menyatakan bahwa yang penting pakaian tarawih itu nyaman.
Yang dimaksud nyaman dalam konteks ini adalah ketika untuk duduk, berdiri, atau membungkuk tidak menyulitkan. Selain itu, juga menjaga agar tidak menimbulkan bayangan tubuh, yang dapat mempengaruhi orang tidak fokus.
Untuk yang wanita perihal warna mukena cenderung putih. Tidak banyak yang mengenakan mukena warna selain putih. Tentang warna putih, mereka mengatakan bahwa lebih bersih.
Karenanya, secara spiritual, mereka mengatakan bahwa warna putih itu menandakan suci. Tarawih itu menghadap Allah sehingga harus bersih nan suci.
Sementara itu, untuk yang laki-laki perihal warna pakaian tarawih tidak terikat warna putih. Baik warna sarung maupun atasan yang dikenakan sangat beragam.
Ya, saya tidak melihat ada yang mengenakan sarung warna atau corak putih. Kalau yang atasannya, saya masih melihat ada yang mengenakan warna putih.