Saya melihat orang pergi ke musala hampir setiap menjelang azan berkumandang. Sebab, rumah kami dekat dengan musala. Sangat dekat, bahkan. Hanya dibatasi oleh satu rumah tetangga dan jalan kampung.
Begini gambarannya dari arah rumah kami, yang berada di kanan musala. Ya, rumah kami. Terus, satu rumah tetangga. Sebelahnya, jalan kampung, sekitar 3-4 meter lebarnya. Selanjutnya, baru musala.
Jadi, setiap ada azan, kami selalu mendengar. Tentu saja ketika waktu-waktu azan kami berada di rumah. Kalau sedang bepergian dari rumah, ya tentu saja tidak mendengar azan dari musala dekat rumah kami.
Pun demikian ketika ada kegiatan di musala tersebut, saya sering melihatnya. Termasuk saat Ramadan ini, ketika tetangga bertarawih.
Hanya, saya melihat ada perbedaan volume orang yang tarawih antara waktu sebelum pandemi dengan sekarang, Â setelah pandemi. Volumenya banyak sebelum pandemi.
Yang menandai adalah teras rumah tetangga kami yang persis berada di depan musala, dulu ketika sebelum pandemi, penuh orang yang bertarawih. Mereka sampai menggelar tikar.
Ramadan kali ini tidak demikian. Orang yang bertarawih hanya sampai di teras musala. Teras rumah tetangga kami tersebut tidak terisi.
Ya, fenomena ini bisa jadi karena selama lebih kurang tiga kali Ramadan tidak ada tarawih bersama di musala ini gegara pandemi Covid-19. Yang, mengharuskan masyarakat berjaga jarak dan menjauhi kerumunan.
Dan, mungkin, hingga kini suasana hati untuk berkumpul masih kurang. Belum muncul semangat. Sebab, biasanya memang begitu sebuah perubahan tidak bisa cepat. Perlu waktu. Perlu proses.