Perjalanan kami dari Pati ke Kudus, Jawa Tengah, cukup lancar Minggu (9/4/2023) siang. Saat memasuki wilayah Kudus, kami mengiring sebuah truk.
Di atas truk terlihat banyak penumpang, yang kemudian merangsang kepala saya menyimpulkan bahwa mereka adalah buruh tani. Ini terlihat dari pakaian yang mereka kenakan dan topi, juga  kain yang menutupi kepala mereka.
Sepertinya tidak ada satu pun di antara mereka yang berkepala telanjang. Kalau tidak mengenakan topi, mereka mengenakan jilbab, atau kain yang dililitkan di kepala.Â
Bahkan, sepertinya ada yang memadukan keduanya, kepalanya bertopi atau berjilbab dan berlilitkan kain.
Tentu dengan cara begitu, terik mentari yang siang itu tidak terkira panasnya, tidak memanaskan kepala mereka. Saya pun meyakini bahwa ketika truk berjalan, angin menerpa mereka, keadaan tidaklah panas.
Tetapi, ketika truk berhenti persimpangan jalan karena, misalnya, traffic light menyala merah, pasti keadaan panasnya bukan kepalang. Saya bisa membayangkan bagaimana rasanya tubuh mereka di atas truk bak terbuka dalam sengatan mentari yang panas.
Dalam keadaan seperti itu saya mengingat-ingat masa kecil saya ketika menggembalakan sapi di ladang, yang tanpa ada tanaman besarnya. Hanya ada hamparan rumput luas membentang.
Karenanya, saat panas terik, saya dan teman-teman penggembala, sering mencari gundukan tanah yang bisa untuk berteduh. Itu pun tidak sepenuhnya terasa teduh. Sebab, hawa panas masih menyergap wajah kami.
Apalagi di atas truk bak terbuka pada siang yang panas terik, tentu panasnya lebih lagi yang dirasakan oleh saudara-saudara buruh tani tersebut.
Belum lagi ada tambahan karbon yang dimuntahkan oleh kendaraan bermotor, baik mobil maupun motor. Tentu menambah (lagi) suhu menjadi lebih panas.