Tetapi, setidaknya, ikhtiar ini sudah mengajak murid mengerti dan memahami, bahkan menghayati bahwa orang hidup bersama dalam masyarakat itu perlu saling membantu, menolong, dan menghargai.
Selain berbagi takjil kepada masyarakat, murid-murid di sekolah tempat saya mengajar juga mengumpulkan zakat. Murid diberi dua pilihan berzakat.
Bisa berzakat beras, yang ukurannya 2,5 kilogram per anak. Atau, uang yang nilainya Rp30.000,00 per anak. Uang ini diperhitungkan sesuai dengan harga beras medium 2,5 kilogram.
Dan faktanya, dua pilihan itu tidak nihil alias ada yang memilih. Berarti ada murid yang berzakat beras dan ada murid yang berzakat uang.
Hasil pengumpulan zakat tersebut dibagikan kepada murid-murid di sekolah (sendiri) yang tergolong kurang mampu, yang informasinya diperoleh dari wali kelas. Dan, dibagikan juga hasil zakat itu ke panti asuhan.
[Sekolah kami berbagi zakat ke panti asuhan selama setahun bisa dua kali. Yaitu, saat penerimaan peserta didik baru (PPDB), tepatnya saat masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) dan saat Ramadan seperti kali ini.]
Memang harus diakui bahwa berzakat merupakan aktivitas kemanusiaan yang bersifat terbatas. Karena umumnya dilakukan saat Ramadan seperti ini.
Tetapi, sekali lagi, setidak-tidaknya upaya ini dapat menjadi pengalaman belajar bermakna bagi murid, seperti halnya dalam aktivitas berbagi takjil.
Mengumpulkan dan berbagi takjil dan zakat kepada sesama kegiatan yang dapat meningkatkan kecerdasan sosial murid orang dan mengumpulkan
Mengumpulkan dan berbagi takjil, juga zakat kepada sesama merupakan aktivitas pada masa Ramadan, yang diyakini dapat meningkatkan kecerdasan sosial murid.
Di dalam keluarga, saya meyakini, murid-murid yang beragama Islam sangat mungkin melaksanakan ibadah puasa dan aktivitas keagamaan selama Ramadan. Tentu di antara kegiatan yang mereka jalankan