Bertahun-tahun kelulusan sekolah selalu melewati ujian. Ada ujian tingkat nasional, yang diikuti oleh semua murid di seluruh Indonesia. Ada ujian tingkat kabupaten. Ada juga ujian tingkat sekolah. Jenisnya, ada ujian tertulis. Ada ujian praktik.
Pada tahun ini, 2023, tidak ada ujian yang harus dilewati oleh murid kelas yang memasuki tahun kelulusan. Baik murid kelas akhir sekolah dasar (SD), SMP, maupun SMA/SMK dan yang sederajat.
Informasi tidak ada ujian bagi Kelas IX di sekolah tempat saya mengajar oleh kepala sekolah agak membuat kaget para guru. Kekagetan ini tentu saja wajar. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya ada ujian. Yang terakhir kemarin, ujian sekolah.
Sekalipun, sesungguhnya, trennya sudah bisa dibaca. Yaitu, dihapuskannya ujian nasional, tinggal ada ujian sekolah. Dulu pusat ikut menentukan kelulusan, akhir-akhir ini hanya sekolah yang menentukan kelulusan.
Tetapi, pemikiran bahwa ujian sekolah (akhirnya) juga dihapus alias ditiadakan, belum ada sama sekali dalam pikiran kami. Hingga menjelang masa kelulusan ini, kami membayangkan ujian sekolah masih ada.
Karenanya, selepas menerima informasi itu, beberapa di antara kami memikirkan bahwa murid tentu akan kehilangan semangat belajar. Selama ini saja semangat belajar mereka sudah  rendah.
Hal itu oleh kami tersimpulkan karena dampak pandemi Covid-19. Ini tidak dapat disangkal. Sebab, selama masa itu murid belajar secara daring. Dan, belajar secara daring ternyata merupakan salah satu penyebab murid kurang semangat belajar.
Sebetulnya untuk membuat mereka memiliki semangat belajar (lagi) sudah dimulai sejak belajar secara tatap muka. Tetapi, ternyata, upaya itu hingga kini belum sepenuhnya berhasil. Mereka masih belum move on.
Nah, kalau kemudian ada informasi kelulusan tidak mensyaratkan ada ujian, tentu kontra produktif. Di satu sisi, kami membangun semangat belajar mereka. Di lain sisi, ujian --yang oleh kami melihatnya sebagai motivasi belajar murid-- malah ditiadakan.
Ini, diakui atau tidak, dapat melemahkan lagi semangat belajar murid. Sebab, tidak ada lagi target yang harus digapai. Dalam konteks ini, yang dimaksud target adalah ujian (sekolah).
Dan, agaknya tanda-tanda bahwa mereka melemah dalam belajar dapat dilihat ketika beberapa guru menyampaikan informasi ketiadaan ujian tersebut kepada mereka.
Tanda-tanda itu, misalnya, mereka menyambut dengan ungkapan kegembiraan, yang terwujud dalam bunyi "hore!". Oleh kami ungkapan kegembiraan itu termaknai bahwa mereka terbebas dari beban.
Secara umum, dalam kondisi tidak ada beban, atau lebih tepatnya tidak ada target, sering membuat orang kehilangan semangat. Tidak mau lagi berusaha secara sungguh-sungguh. "Berjalan" apa adanya.
Kenyataan seperti itu tidak hanya terjadi atas murid --yang adalah anak-anak--, tetapi juga guru dan orang dewasa pada umumnya. Ini fakta dan karenanya kita tidak mungkin mengelak. Karena,  boleh jadi kita sendiri yang  mengalaminya.
Penghapusan ujian bagi murid kelas yang memasuki masa kelulusan pada 2023 didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.
Pada Pasal 10 ayat (2) dinyatakan bahwa penentuan kelulusan dari satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) huruf b dilakukan dengan mempertimbangkan laporan kemajuan belajar yang mencerminkan pencapaian peserta didik pada semua mata pelajaran dan ekstrakurikuler serta prestasi lain.
Yang, didasarkan pada: a. kelas V dan kelas VI untuk sekolah dasar atau bentuk lain yang sederajat; dan b. setiap tingkatan kelas untuk sekolah menengah pertama atau bentuk lain yang sederajat dan sekolah menengah atas atau bentuk lain yang sederajat.
Mengacu pada peraturan ini berarti murid yang memasuki masa kelulusan, sekalipun tidak mengikuti ujian, mereka masih harus mengikuti penilaian akhir tahun (PAT). Materi untuk PAT adalah materi yang hanya mereka pelajari pada semester terakhir atau semester berjalan.
Jadi, logikanya adanya PAT lebih memudahkan bagi murid jika dibandingkan dengan ujian. Sebab, jumlah materi ujian lebih banyak karena mencakup materi semester-semester terdahulu daripada materi PAT.
Entah mengapa diberlakukan kebijakan seperti ini? Mengenainya belum ada penjelasan dari pihak yang berwenang. Tetapi, penghapusan ujian yang dilakukan secara bertahap, dari ujian tingkat pusat, daerah, hingga sekolah, tentu memiliki tujuan yang baik. Hanya, kita belum mengetahuinya.
Prediksi
Yang ada di otak saya kemudian muncul dugaan begini. Dihapuskannya ujian bagi anak-anak berarti memberi kemerdekaan sekolah untuk mengawal dan menuntun murid sesuai dengan konteks sekolah masing-masing.
Dengan demikian, akhirnya sangat mungkin ada perbedaan kompetensi lulusan sekolah yang satu dengan sekolah yang lain. Ini tentu sesuai dengan keragaman potensi wilayah yang ada di Indonesia.
Murid yang ada di Irian Jaya, misalnya, tentu memiliki kompetensi yang terkait dengan potensi di Irian Jaya. Dan, itu tentu akan berbeda dengan kompetensi murid yang ada di Jakarta, yang tidak memiliki potensi seperti yang dimiliki oleh Irian Jaya.
Ini barangkali yang hendak diwujudkan melalui Kurikulum Merdeka. Setiap daerah, sekolah, guru, bahkan murid memiliki kemerdekaan dalam pembelajaran yang tentu sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki masing-masing. Sehingga kompetensi optimalnya dapat diraih untuk dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan.
Jadi, melihat kerangka berpikir yang demikian, dihapuskannya ujian boleh jadi justru mampu menumbuhkembangkan kompetensi diri murid sesuai dengan karakteristiknya, yang terhubung dengan potensi wilayah masing-masing.
Dengan begitu, selesai mengenyam pendidikan, mereka  dapat mengembangkan, setidaknya, potensi di daerahnya. Yang, selanjutnya dapat memberi sumbang sih bagi bangsa dan negara.
Kompetensi murid dimungkinkan dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal karena murid tidak dibatasi oleh ujian, yang instrumennya cenderung seragam. Yang, dapat dipastikan bahwa instrumen seperti itu tidak dapat menjawab keberagaman kompetensi murid.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penghapusan ujian tidak serta merta patut dimaknai bisa menyebabkan kemalasan murid. Dalam jangka pendek, satu-empat tahun sejak ujian ditiadakan, mungkin ya. Murid kehilangan semangat belajar.
Tetapi, dalam jangka menengah-panjang, mungkin lima tahun dan seterusnya, murid sudah menemukan passion-nya yang terhubung dengan potensi wilayah/daerahnya. Sehingga memungkinkan kompetensinya meningkat.
Memandang begitu kenyataannya, letak ujian murid tidak berada pada satu waktu tertentu seperti yang sudah-sudah. Tetapi, ujiannya justru berlangsung selama mereka berproses dalam belajar. Bukankah begitu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H