Itu sebabnya, agar anak benar-benar dapat terlibat dalam belajar harus dimulai dari peran hati. Hati guru yang dapat mengubah hati anak. Hal ini tidak cukup dikerjakan oleh guru Bimbingan dan Konseling (BK), tetapi jauh lebih penting dikerjakan oleh guru yang terlibat banyak jam di kelas mendampingi siswa.
Karena, guru yang disebut terakhir itu yang sering bertemu dengan siswa yang dimaksud. Kalau sering bertemu, sementara pertemuan itu kurang "berisi" tentu saja sia-sia. Bagi guru, gagal melaksanakan profesi; bagi siswa, gagal mengikuti belajar.
Pertemuan berisi yang dimaksud dalam konteks ini memang bersyarat. Syaratnya adalah hati guru dan siswa bertemu. Maksudnya, siswa yang sedang memiliki masalah yang mengakibatkan malas (baca: tidak bersemangat) belajar harus terlebih dahulu diselesaikan oleh guru.
Siswa tidak akan menemukan pengalaman belajar bermakna kalau masalah yang membelenggunya tidak diselesaikan terlebih dahulu oleh guru. Sekalipun persiapan perangkat dan persiapan performa guru yang terbaik, tidak akan cukup memberi hasil.Â
Mungkin hampir semua guru menemukan siswa yang membutuhkan empati. Tetapi, sudahkah kita, sebagai guru, memberikan empati kepada mereka? Saya masih harus terus belajar mengenai hal ini. Sebab, kadang saya sudah memberi materi sebelum memberi empati. Jelas kurang tepat, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H