Dalam konteks itu, masyarakat akan mendapatkan pesan baru melalui bahasa (dan gambar) dalam reklame. Selain itu, masyarakat juga menemukan kesan yang baru, yang berbeda dengan kesan yang didapat dalam reklame sebelumnya, meskipun produk yang dipasarkan tetap. Di sinilah sebetulnya masyarakat memasuki proses "mempelajari" bahasa yang ada di dalam reklame.
Dengan adanya pergantian reklame dalam rentang waktu tertentu, yang dilakukan secara berkala, menunjukkan bahwa masyarakat terus menjalani proses "belajar" bahasa. Reklame menjadi penyedia ruang bagi masyarakat untuk belajar bahasa yang selalu mengikuti perkembangan zaman.
Hanya, ruang belajar bahasa melalui reklame bagi masyarakat masa kini (ternyata) tidak hanya tersedia di ruang-ruang publik. Tetapi, tersebar juga melalui berbagai media, baik media cetak maupun digital. Bahkan, di dalam media yang disebut terakhir, kita mudah menemukan reklame (baca: iklan) yang sangat menarik dan selalu baru.
Bukti
Bahwa masyarakat berguru mengenai bahasa melalui reklame dapat dibuktikan dalam pertumbuhan berbahasa anak. Kita menemukan anak-anak yang pandai mengungkapkan istilah-istilah baru sekalipun belum pernah diajarkan oleh orangtuanya.
Bahkan, tidak jarang ketika anak begitu terampil mengungkapkan istilah baru dengan aksen yang menarik dan lucu di hadapan orangtua, orangtua terkejut. Kok bisa ya? Begitu mungkin wujud keterkejutan orangtua. Tetapi, selidik punya selidik, ternyata si anak menirukan iklan yang tayang di media.
Itu salah satu contoh bahwa iklan dapat menjadi guru bahasa bagi anak. Melalui melihat tayangan iklan, juga banyak anak yang berbicara cas-cis-cus disertai dengan bahasa tubuh yang apik. Begitu terampil dan sangat memikat.
Sering juga guru menemukan tulisan-tulisan siswa yang memunculkan diksi-diksi yang  unik, yang ternyata terinspirasi dari bahasa dalam reklame. Guru, termasuk guru bahasa, yang tidak mengikuti perkembangan bahasa dalam reklame, dipastikan ketinggalan pengetahuan bahasanya.
Karena ternyata perkembangan bahasa dalam reklame sangat cepat. Selalu ada perubahan dan lahir diksi-diksi baru yang unik dan menyegarkan. Sehingga, memikat perhatian  masyarakat.
Tetapi, bukan berarti baik-baik saja. Sebab ternyata ada reklame yang kurang hati-hati dalam hal ejaan. Yang, begitu saja terserap sebagai pengetahuan masyarakat, termasuk anak-anak. Dan, keadaan ini agaknya sedikit menimbulkan kendala bagi anak-anak (khususnya) ketika belajar bahasa Indonesia di sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H