Konten pornografi sudah tidak bisa dibendung (lagi). Selalu ada celah dan bocor. Bisa berupa video porno, teks berasa porno, dan iklan dewasa yang berbau porno. Siapa pun bisa mengakses, termasuk anak-anak. Toh anak-anak masa kini sudah familier dengan gawai.
Selama pandemi Covid-19, pembelajaran online menuntut anak untuk memanfaatkan gawai. Di sela-sela pembelajaran tersebut, anak dapat saja memanfaatkan gawai untuk berselancar di dunia maya. Nah, ketika berselancar itulah sangat mungkin anak menjumpai konten pornografi.
Mungkin ada anak yang ketika menjumpai konten seperti itu, langsung menutupnya karena mereka sudah mendapatkan pendidikan seks. Atau, karena mereka sudah belajar dari berbagai berita, pembicaraan, informasi tentang seks dan berbagai efek buruknya dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Tetapi, mungkin ada juga anak yang kemudian malah melihat, penasaran, dan menjadi ketagihan. Akibatnya, pikiran, mental, dan fisik anak mengalami kemunduran. Dan, akhirnya kehilangan masa depan.
Mengkhawatirkan keadaan seperti itu, keluarga dapat menjadi ruang pendidikan seks bagi anak. Sejak anak masih kanak-kanak, orangtua sudah bisa mulai memberi pendidikan seks. Ini hanya keluarga yang dapat melakukannya.
Misalnya, mengenalkan anak agar ketika mengenakan pakaian harus benar dan sesuai dengan fungsinya. Mengenalkan anak agar membuang air kecil di toilet atau di tempat tersembunyi, tidak boleh di sembarang tempat.
Hal-hal  tersebut sepertinya sangat sederhana, tetapi sejatinya itu bagian dari pendidikan seks bagi anak yang perlu dilakukan oleh setiap orangtua di dalam keluarga sejak kanak-kanak.
Lebih jauh lagi, mereka dikenalkan juga, misalnya, mengapa kakak laki-laki dan kakak perempuan ketika mandi bergantian. Ini penting juga dipahamkan kepada anak agar anak mengerti perbedaan yang ada dan harus diberlakukan secara benar.
Perihal orangtua mencium anak pun perlu dijelaskan dengan benar. Sehingga, anak akhirnya mengerti bahwa perihal mencium tidak sembarangan. Pun demikian kakak, saudara, kakek-nenek ketika mencium adik, dibutuhkan pemahaman yang benar.
Mengapa? Karena, bukan tidak mungkin ketika melihat film di televisi, anak melihat adegan ciuman. Tetapi, Â karena anak sudah mendapat pemahaman yang benar terlebih dahulu, ia akan bersikap lebih terkontrol.
Ketika anak mulai remaja, sangat penting untuk diajak berdiskusi mengenai seks. Misalnya, anak diminta berbagi cerita tentang dirinya dengan teman-teman di sekolah.
Siapa tahu, melalui berbagi cerita tersebut, akhirnya dapat diketahui bahwa si anak sudah memiliki perhatian khusus terhadap salah seorang temannya yang berbeda jenis (kelamin).
Dari sinilah orangtua dapat semakin dalam menyampaikan pendidikan seks kepada anak remajanya. Ibu terhadap putri remajanya bisa saja berbicara tentang menstruasi dan efek yang mungkin timbul. Bapak atau ibu terhadap putra remajanya bisa saja berbicara tentang bulu yang mulai tumbuh, suara berubah, mimpi basah dan efek yang mungkin timbul dari kondisi itu.
Perbincangan tersebut menjadi asyik kalau orangtua bersikap terbuka, memberi rasa nyaman, memberi pengetahuan yang benar. Dan, tentu membincangkan dalam keadaan yang rileks.
Memang untuk memperoleh keadaan yang rileks saat berbincang, harus sudah sering dilakukan alias tidak tiba-tiba. Sudah dibiasakan dalam keluarga.
Bukan tidak mungkin karena saking asyik membincangkan perihal tersebut, anak lebih terbuka, enjoy bercerita tentang temannya dan pengalamannya, serta banyak bertanya kepada orangtua. Dan, saat demikian orangtua dapat mengedukasi secara benar.
Saya yakin, kalau hal-hal (yang tampaknya) sederhana seperti disebut di atas dilakukan oleh setiap keluarga secara intens, anak-anak akan mengalami tumbuh kembang secara wajar karena mereka sudah memiliki tameng terhadap pengaruh-pengaruh buruk yang selalu saja ada, termasuk konten pornografi.
Mereka tidak akan gampang terpikat oleh fenomena pergaulan bebas, yang dapat saja mengarah ke perilaku seks bebas. Mereka pun tidak mudah dipengaruhi oleh siapa pun, termasuk figur tertentu, yang berniat jahat seperti yang dilakukan oleh Herry Wirawan, yang akhirnya dijatuhi hukuman mati.
Dan, tatkala menginjak pemuda atau dewasa muda, mereka pun tidak akan melakukan tindakan kurang terpuji, misalnya seperti yang dilakukan oleh Gusti Ayu Dewanti, yang akhirnya dijadikan tersangka dalam kasus hukum konten pornografi. Juga tidak  sehancur oknum anggota DPR, yang ketika rapat diduga melihat konten pornografi melalui gawai.
Tentu anak akan memiliki perisai yang semakin kuat terhadap paparan konten pornografi kalau pendidikan seks juga diimplementasikan di sekolah. Pendidikan seks bagi anak di sekolah tak cukup disampaikan oleh guru bimbingan dan konseling (BK). Guru BK lebih memberi kekuatan dalam aspek moral, pengetahuan, dan kejiwaan.
Sekolah perlu memiliki tenaga kesehatan, yang dapat memaksimalkan fungsi usaha kesehatan sekolah (UKS). UKS di sekolah negeri selama ini hanya bersifat kuratif. Dengan adanya tenaga kesehatan, UKS dapat memberi edukasi kesehatan terhadap warga sekolah, terutama siswa, secara berkelanjutan.
Salah satunya edukasi mengenai seks. Pendidikan seks dari aspek kesehatan sangat penting disampaikan kepada siswa. Sebab, bagian ini tidak pernah didapatkan siswa selama ini. Agaknya hanya tenaga kesehatan yang profesional di bidang tersebut.
Apalagi belum bisa dipastikan setahun sekali puskesmas datang ke sekolah untuk memberi edukasi tentang kesehatan. Dan, itu pun  tidak menjangkau keseluruhan siswa. Lazimnya, hanya bisa diikuti oleh perwakilan kelas, dua atau tiga siswa.
Adanya tenaga kesehatan yang selalu standby di UKS, tentu memiliki banyak kesempatan bisa mengedukasi siswa, misalnya, tentang kesehatan reproduksi dan dampak negatif jika mengabaikannya. Saya yakin, edukasi seperti itu akan meningkatkan  kualitas pendidikan seks pada anak. Â
Dengan begitu, bukan mustahil, mereka menjadi anak-anak yang tidak mudah terpapar konten pornografi yang setiap waktu bisa dijumpainya, baik di dunia maya maupun kenyataan sehari-hari. Â
Rasanya tidak mungkin (juga) kita melibatkan masyarakat dalam mengimplementasikan pendidikan seks terhadap anak. Sebab, kini, di masyarakat sendiri banyak dijumpai fenomena yang kontra produktif dengan  pendidikan seks terhadap anak itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H