Masing-masing membiarkan pembeli mau memilih siapa di antara mereka. Tak ada yang  memengaruhi; tak ada yang protes. Semua berlangsung nyaman.
Karena memang toleransi itu melahirkan suasana yang nyaman. Di situ ada toleransi, di situ dijumpai suasana yang nyaman. Hubungan antar sesama indah dan akrab.
Berbeda dengan, di situ tak ada toleransi alias intoleransi, di situ dijumpai suasana yang tegang. Hubungan antar sesama jauh dari keindahan dan keguyuban.
Bahkan, begini selanjutnya teman saya berkata, toleransi sebenarnya tak selalu dapat dilihat. Sebab, toleransi bermuara pada hati. Ketika kita bisa kontrol diri, misalnya, tak mengambil sambal kesukaan anak di atas meja makan saat hendak makan bersama, di dalam hati kita sudah tumbuh toleransi.
Toleransi dengan demikian tak jauh dari kita. Toleransi bersemayam di hati kita. Karenanya, menumbuhkan toleransi dapat dimulai dari hal-hal yang begitu dekat dengan kita. Suami dengan istri, anak dengan orangtua, adik dengan kakak dalam keluarga.
Saya merasa kadang gagal menumbuhkan toleransi sekalipun di dalam keluarga (sendiri), yang sedikit banyak memiliki kesamaan. Masih harus terus belajar, entah sampai kapan. Padahal, jauh lebih sulit  membangun toleransi di luar sana karena perbedaan begitu menganga.