Hanya, saya tak mengerti, apakah Anda menerima pemikiran tersebut atau tidak? Bukan perihal klopnya. Bukan. Tapi, perihal pengendara motor yang disetop yang kemudian melambatkan motornya dan akhirnya  berhenti sesaat untuk memberikan kesempatan orang lain (saya) memutar balik mobil. Itu toleransi.
Kalau Anda menerima pemikiran tersebut, maka saya memiliki teman dalam merenungkannya. Jadi, begini. Setiap orang memiliki kebebasan memaknai sesuatu.
Seperti, tukang parkir yang telah menolong kami memaknai sebuah tindakan --pengendara motor yang berhenti sesaat  untuk memberi kesempatan kepada kami agar mudah memutar balik mobil--  sebagai wujud toleransi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi artinya --ini salah satu arti-- sifat atau sikap toleran. Dan, toleran artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Berkaca pada pengertian tersebut, ucapan "toleransi" oleh tukang parkir terhadap tindakan pengendara motor yang memberi kesempatan kepada saya untuk memutar balik mobil, tidaklah salah. Sebab, pengendara motor menenggang atau membolehkan kami memanfaatkan jalan terlebih dahulu untuk memutar balik mobil.
Istilah toleransi, selama ini lebih banyak dihubungkan dengan sikap orang menghargai perbedaan. Misalnya, perbedaan agama, keyakinan, suku, ras, golongan, kelompok, dan sejenisnya.
Pintu warung makan yang biasanya terbuka  pada bulan puasa (seperti saat ini) ditutup dengan kain agar orang yang sedang makan tak kelihatan, disebut sebagai wujud  toleransi.
Pun demikian, membiarkan orang beribadah sesuai dengan agama atau keyakinannya yang berbeda dengan agama atau keyakinan kita, dimaknai bahwa kita bertoleransi.
Tapi, fenomena di persimpangan gang atau jalan yang tanpa traffic light yang ramai oleh pengendara yang kadang mereka nyaris bertabrakan, jarang atau bahkan tak pernah kita mengaitkannya dengan toleransi. Padahal, di situ sering pengendara  saling mendahului. Pengendara lain seolah diabaikan. Bukankah ini salah satu area intoleransi?
Pun demikian, ketika ada pembagian bingkisan atau zakat, entah oleh instansi pemerintah atau lembaga keagamaan, yang sering orang berjubel dan berdesak-desakan, kita tak pernah menyebutnya itu sebagai bentuk intoleransi. Padahal, di situ orang mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain.
Kalau kita mau belajar toleransi, kata salah satu teman saya, lihatlah para pedagang di pasar. Para penjual ikan, misalnya, yang berada dalam satu los, mereka tak saling merebut pembeli.