Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pentingnya Menumbuhkan Sikap Toleransi Anak di Sekolah

10 April 2022   00:17 Diperbarui: 21 April 2022   08:36 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa di salah satu SMP di Kudus, Jawa Tengah, sedang mengelola zakat./Dokumentasi pribadi.

Saya menjemput si bungsu, Kelas VIII, sebab sudah ada notifikasi di gawai saya. Saya membukanya dan membaca teks: "Jemput yah. Terima kasih". Saya mengendarai motor, menjemputnya.

Saat ia berada di boncengan, ia mengatakan bahwa tadi ia tak mengikuti pelajaran. Katanya, ia bersama pengurus organisasi siswa intra sekolah (OSIS) yang lain mengumpulkan zakat. Berupa beras yang ditempatkan dalam kantong plastik. Siswa membawanya dari rumah mereka masing-masing, tentu seizin orangtua.

Katanya lagi, mereka tak hanya mengumpulkan, tapi juga mendata. Mencatat siapa, kelas berapa; berapa jumlahnya, sesuai dengan jumlah siswa atau tidak. Dalam data terlihat siapa yang sudah dan belum. Kalau ada yang belum, hari berikutnya bisa mengumpulkan.

Saya berusaha menangkap semua yang dikatakannya. Sekalipun terdengar samar-samar karena suaranya tak lebih keras dari suara kendaraan yang bising di jalanan siang itu. Karenanya, mungkin saja ada konten perkataannya yang tak tertangkap oleh telinga saya dan itu berarti tak tercatat di sini.

Tapi, dari yang sudah tercatat di sini, setidaknya memberikan gambaran kepada kita bahwa pengurus OSIS telah melakukan pekerjaan secara bergotong royong. Mereka melakukannya secara bersama, berbaur satu dengan yang lain tanpa memandang asal usul mereka, untuk satu pekerjaan yang mulia.

Saya, secara pribadi, merasa senang atas realitas tersebut. Sebab, si bungsu yang beragama Kristen dapat berbaur dengan teman-teman pengurus OSIS yang lain, yang sangat mungkin ada yang berbeda agama. Semua itu untuk urusan zakat, yang keberadaannya ada dalam satu rangkaian dengan kegiatan puasa Ramadan dan idul Fitri.

Mendengar ceritanya dan melihat semangatnya bercerita tentang aktivitas tersebut, saya membayangkan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh si bungsu bersama teman-temannya ada dalam suasana yang menggembirakan. Kalau suasananya sebaliknya, tentu saya melihat berbeda tentangnya. Kemungkinan ia diam dan cemberut.

Maka, barangkali tak salah kalau saya kemudian mengungkapkan demikian. Si bungsu melaksanakan tugas yang mulia itu dengan suka cita. Sementara teman-temannya, yang berkeyakinan berbeda dengannya dalam jumlah yang tentu lebih banyak, bisa terbuka menerima dirinya untuk bergabung. Si bungsu tentu saja menyambut penerimaan tersebut dengan hati riang gembira.

Saya mengetahui melalui cerita si bungsu, anak-anak yang beragama Kristen ada juga selain dirinya dalam aktivitas itu. Ada juga yang beragama Katolik. Cuma yang Hindu, Budha, dan Konghucu tak disebutkan, atau mungkin memang tak ada. Yang Kristen dan Katolik dapat berbaur dengan teman-temannya yang beragama Islam berpadu dalam kerja rohani: mengoordinasi zakat. Luar biasa!

Saya yakin hal seperti itu banyak dilakukan di sekolah-sekolah umum, baik negeri maupun swasta. Sekolah umum (dalam konteks ini) adalah sekolah yang tak berdasarkan agama atau keyakinan tertentu. Sekolah umum sebagian besar sekolah negeri.

Di sekolah, tempat saya mengajar --hingga tulisan ini dibuat-- belum dilakukan kegiatan pengumpulan zakat. Tapi, berkaca pada tahun-tahun lalu sebelum pandemi Covid-19, zakat selalu dilakukan.

Dan, dikoordinasi oleh pengurus OSIS, yang di dalamnya bergabung anak-anak dari beragam agama. Sepengetahuan saya ada yang beragama Islam, Katolik, dan Kristen.

Sebentar lagi pekerjaan yang mulia dan berguna bagi banyak orang di sekolah, tempat saya mengabdi itu, tentu segera dilakukan. Anak-anak OSIS, maksudnya pengurus OSIS, akan sibuk mengumpulkan dan membagikan zakat dalam kebersamaan dan kegembiraan.

Inilah bentuk toleransi anak-anak, yang seharusnya terus bisa ditumbuhkan di manapun saat Ramadan ini. Di sekolah yang berada di kota, di desa, di Jawa, atau di luar Jawa.

Kalau itu yang ditumbuhkan, maka Ramadan ini menjadi momen, yang tidak hanya membangun keimanan siswa. Tapi, juga membangun toleransi antar siswa dalam kebhinekaan di Indonesia.

Hal itu sangat mendukung terwujudnya cita-cita dalam profil pelajar Pancasila, yang salah satu cirinya adalah kebhinekaan global. Hanya memang kebhinekaan global luas jangkauannya karena mendunia.

Tapi, setidaknya dalam momen Ramadan, siswa sudah diarahkan menghayati bertoleransi. Yang, diakui atau tidak, penghayatan tersebut sudah menjadi bekal bagi siswa untuk dapat membangun sikap toleransi terhadap warga dunia.

Sebab, ke depan, mau tak mau, mereka akan membangun pergaulan dengan warga dunia. Mereka akan menghadapi keragaman yang semakin kompleks. Dan, keadaan itu akan dapat "ditaklukkan" kalau mereka sudah dibekali bertoleransi sejak di sekolah.

Sejatinya, ada banyak momen di sekolah yang dapat digunakan untuk membekali siswa memperdalam sikap toleransi. Tak hanya saat Ramadan. Bisa juga saat Idul Adha, Natal, Waisak, Galungan, dan hari-hari besar agama lainnya.

Juga, hari-hari besar nasional, bahkan hari-hari pada setiap harinya. Sebab setiap hari, di sekolah sebagai tempat kebhinekaan berkumpul. Tinggal bagaimana kepala sekolah dan guru mewujudkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun