Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengetahui Nilai Anak Jeblok, Orangtua Harus Mengubah Persepsi

23 Maret 2022   16:16 Diperbarui: 24 Maret 2022   02:15 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua harus mau mengubah persepsi terhadap hasil yang didapat anak.| Sumber: Freepik.com via Kompas.com

Minggu ini siswa di sekolah tempat saya mengajar, entah di sekolah lain, menerima hasil penilaian tengah semester (PTS). Hasil PTS tersebut harus dilaporkan kepada orangtua. Dan, orangtua harus membubuhkan tanda tangan di bagian yang sudah tersedia di laporan hasil PTS tersebut.

Tanda tangan orangtua tersebut sebagai bukti bahwa orangtua sudah mengetahui hasil PTS anaknya. Guru mengetahuinya kemudian karena hasil PTS tersebut harus dikembalikan kepada guru setelah mendapat tanda tangan orangtua.

Dalam konteks itu, saya sengaja menanyakan kepada siswa tentang tanggapan orangtua saat mengetahui hasil PTS anaknya. Ada siswa yang mendapat respons dari orangtua secara biasa alias datar-datar saja. Ada juga yang mendapat respons berupa pujian. Dan, ada juga yang memperoleh tanggapan secara tak menyenangkan.

Di hadapan mereka, saya mengatakan bahwa respons apa pun yang diungkapkan oleh orangtua untuk "kebaikan" anak-anak. Oleh karena itu, saya menyarankan kepada mereka selalu berpikir positif.

Berdasarkan jawaban anak-anak terhadap pertanyaan saya, dapat saya catat demikian. Ada orangtua yang sekadar mengatakan "belajar lagi, ya" saat melihat nilai anaknya. 

Ada juga yang menyatakan "bagus" nilai Matematika sekalipun hanya 6 sebab tak pernah memperoleh nilai 6 untuk mata pelajaran (mapel) Matematika. Pun ada yang mengatakan "payah" ketika membaca nilai anaknya.

Seperti itu gambaran mengenai tanggapan orangtua terhadap hasil PTS anaknya. Gambaran itu saya dapatkan setelah saya menanyakannya kepada siswa di beberapa kelas tempat saya mengajar.

Saya yakin gambaran seperti itu juga yang didapat andai saja saya menanyakannya kepada semua siswa di sekolah. Bahkan, mungkin tak jauh berbeda terhadap siswa di sekolah lain kalau ditanyakan mengenai hal yang sama.

Selalu ada respons orangtua yang netral, menggembirakan, atau menyedihkan. Kira-kira seperti itu juga di sekolah tempat Anda mengabdi. Benar bukan?

Tapi, apa pun responsnya, saya berani memastikan bahwa orangtua tetap berharap anaknya bersekolah. Hingga rampung. Oleh karena itu, orangtua sudah semestinya tetap dapat menjaga perasaan anak.

Buat apa memberi tanggapan yang "merusak" perasaan anak kalau orangtua masih berharap anak bersekolah. Bukankah lebih baik memberi tanggapan yang "membangun" perasaan anak?

Memang berat bagi orangtua yang sudah memiliki ekspektasi tinggi terhadap anak kalau kemudian menemukan kenyataan jauh di bawah ekspektasinya. Saya yakin tak sedikit orangtua menghadapi realitas seperti itu selama mendampingi anak bersekolah.

Tapi, penting diketahui bahwa anak memiliki beban yang semakin berat tatkala orangtua merespon secara buruk. Di sekolah, anak sudah menghadapi teman-temannya dan gurunya dengan perasaan yang tak nyaman. Di rumah, ia berhadapan dengan orangtua yang menyuguhkan keadaan yang menyerupai keadaan di sekolah.

Kita dapat membayangkan betapa hancurnya perasaan anak. Kondisi perasaan yang demikian niscaya tak mendukung anak dalam bersekolah. Dipastikan anak mengalami gangguan dalam belajar. Kenyataan itu yang kadang kurang disadari oleh sebagian (besar atau kecil?) orangtua.

Berdiskusi bersama anak dengan pendekatan ramah dan menguatkan. (Sumber: titiknol.co.id)
Berdiskusi bersama anak dengan pendekatan ramah dan menguatkan. (Sumber: titiknol.co.id)

Mengubah persepsi

Satu-satunya cara yang berisiko lebih kecil untuk "membangun" perasaan anak terletak di orangtua. Orangtua harus mau mengubah persepsi terhadap hasil (baca: nilai) yang didapat anak, seberapa pun itu.

Sudah tak masanya lagi orangtua merespons secara biasa alias datar-datar saja, menyindir, mendiamkan, apalagi "menyemprot" anak hanya karena nilai yang didapat merosot atau rendah alias jeblok.

Alangkah baiknya kalau orangtua memberi dukungan terhadap anak. Memberi perlindungan dan pengakuan terhadap anak.

Sebab, saat itu anak mengalami keterpurukan secara mental. Semestinya muncul dukungan yang dapat menguatkannya. Membuatnya tegak lagi dalam memandang hari ini dan yang akan datang. Menjadi pribadi yang lebih optimis.

Caranya, orangtua memberi ruang bagi anak untuk berdiskusi. Sangat penting orangtua harus proaktif dan berinisiatif. Memulai berbicara dengan pendekatan yang ramah dan menguatkan.

Perlu menyadari bahwa setiap anak memiliki keistimewaan. Satu dengan yang lain memang berbeda. Tapi, yakinlah Tuhan menciptakan umat-Nya selalu dalam rencana yang baik dan sempurna.

Dengan pendekatan seperti itu bukan mustahil kalau akhirnya anak bercerita secara terbuka mengenai kekurangan dan kelemahannya tanpa merasa ada beban. Dari keterbukaan itu orangtua dapat membantu anak untuk tumbuh kembang lebih baik.

Mengubah dengan gembira

Orangtua dapat mengubah persepsi dengan gembira kalau saja mau sedikit merenung tentang, pertama, tak setiap pasangan hidup (orang) dianugerahi buah hati oleh Tuhan. Artinya, anak sebagai pribadi yang sangat berharga tak hanya di mata Tuhan, tapi seharusnya juga di mata orangtua.

Harta yang berharga itu tak seharusnya dibiarkan apalagi direndahkan. Harta itu harus dirawat dan dilindungi dari yang jahat. Agar dari hari ke hari, harta itu semakin berharga.

Ingat, ada pasangan hidup yang sudah bertahun-tahun belum mendapat atau bahkan tak mendapat anugerah itu. Ada juga yang sudah dianugerahi, tapi dalam masa pertumbuhannya "dipanggil" ke pangkuan-Nya.

Kedua, pasangan hidup yang sudah dianugerahi buah hati, sudah dipilih (dipiji, bahasa Jawa) oleh Sang Khalik. Sudah dipilih berarti mereka diberi kemampuan untuk merawat dan membimbing buah hati menjadi dewasa.

Tanggung jawab dan kepercayaan tersebut sangat mahal karena tak setiap pasangan menerimanya. Maka, sudah semestinya orangtua menjalankan tanggung jawab dan kepercayaan yang bernilai Ilahi itu dengan sepenuh hati dan jiwa.

Tantangan pasti ada dalam merawat dan mendampingi anak dalam tumbuh kembang, baik secara intern maupun ekstern. Tapi, karena Sang Khalik sudah "memilih", yang dipilih pasti dikaruniai kemampuan untuk menghadapi tantangan.

Ketiga, dari dua hal yang disebut terdahulu menunjukkan bahwa orangtua sebagai sosok yang istimewa di hadapan Tuhan. Keistimewaan yang sudah diterimakan (baca: disandang) tak boleh disia-siakan. Tapi, sebaliknya harus diberlakukan secara istimewa juga di dalam membersamai anak dalam proses tumbuh kembang.
***
Jika berkaca terhadap tiga yang Ilahi itu, kiranya dapat mendorong kita, sebagai orangtua, untuk selalu dapat memberi yang terbaik bagi anak-anak dalam mengikuti proses bersekolah.

Mendukung, membantu, dan menciptakan suasana hati anak yang selalu penuh kegembiraan. Sehingga, ia dengan segala problem bersekolah yang dihadapinya, tak hanya sebatas nilai yang jeblok, dapat melewatinya dengan tetap teguh dan tegar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun