Buat apa memberi tanggapan yang "merusak" perasaan anak kalau orangtua masih berharap anak bersekolah. Bukankah lebih baik memberi tanggapan yang "membangun" perasaan anak?
Memang berat bagi orangtua yang sudah memiliki ekspektasi tinggi terhadap anak kalau kemudian menemukan kenyataan jauh di bawah ekspektasinya. Saya yakin tak sedikit orangtua menghadapi realitas seperti itu selama mendampingi anak bersekolah.
Tapi, penting diketahui bahwa anak memiliki beban yang semakin berat tatkala orangtua merespon secara buruk. Di sekolah, anak sudah menghadapi teman-temannya dan gurunya dengan perasaan yang tak nyaman. Di rumah, ia berhadapan dengan orangtua yang menyuguhkan keadaan yang menyerupai keadaan di sekolah.
Kita dapat membayangkan betapa hancurnya perasaan anak. Kondisi perasaan yang demikian niscaya tak mendukung anak dalam bersekolah. Dipastikan anak mengalami gangguan dalam belajar. Kenyataan itu yang kadang kurang disadari oleh sebagian (besar atau kecil?) orangtua.
Mengubah persepsi
Satu-satunya cara yang berisiko lebih kecil untuk "membangun" perasaan anak terletak di orangtua. Orangtua harus mau mengubah persepsi terhadap hasil (baca: nilai) yang didapat anak, seberapa pun itu.
Sudah tak masanya lagi orangtua merespons secara biasa alias datar-datar saja, menyindir, mendiamkan, apalagi "menyemprot" anak hanya karena nilai yang didapat merosot atau rendah alias jeblok.
Alangkah baiknya kalau orangtua memberi dukungan terhadap anak. Memberi perlindungan dan pengakuan terhadap anak.
Sebab, saat itu anak mengalami keterpurukan secara mental. Semestinya muncul dukungan yang dapat menguatkannya. Membuatnya tegak lagi dalam memandang hari ini dan yang akan datang. Menjadi pribadi yang lebih optimis.
Caranya, orangtua memberi ruang bagi anak untuk berdiskusi. Sangat penting orangtua harus proaktif dan berinisiatif. Memulai berbicara dengan pendekatan yang ramah dan menguatkan.