Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghadapi Anak yang Gagal dalam Cita-cita, Bagaimana Menyikapinya?

28 Januari 2022   14:40 Diperbarui: 29 Januari 2022   01:00 1743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak murung karena gagal meraih cita-citanya. Sumber: iStockphotos/KatarzynaBialasiewicz via Bobo.grid.id

Hanya saya dan dirinya yang mengetahui hal itu sebagai sebuah kebetulan. Sebab, ibunya sedang bekerja, kebetulan masuk pukul 14.00; pulang pukul 21.00. Dan, adiknya di rumah kerabat sedang bermain. Tentu semakin "tak nyaman" andai yang mengetahui semakin banyak. Karena bukan mustahil ada intervensi yang (sangat mungkin) memberi pengaruh.

Syukur kalau pengaruhnya positif, yang mampu meneduhkan benak. Kalau yang terjadi sebaliknya, pengaruhnya negatif, tentu suasana semakin tak karuan. Saya, tentu Anda juga, tak menginginkan hal itu terjadi bukan?

Maka, saya bersyukur ketika "gemuruh" benak si sulung dapat berhenti. Kondisi itu bisa jadi karena kelelahannya sudah sampai klimaks sehingga secara naluriah berhenti dan berganti  ketenangan dalam benak. Yang, ditandai dengan tangisnya mereda  dan perilakunya lebih terkontrol.

Tapi, adanya perubahan tangisnya mereda dan perilakunya lebih terkontrol bisa juga karena "cahaya Allah" yang meneranginya. Atau, kedua-duanya berpadu sehingga mengubah keadaan, dari "gemuruh" menjadi "teduh"

Barangkali kita pernah mengalami hal seperti itu. Kalau pernah mengalami, saya rasa, hal itu sesuatu yang wajar. Siapa pun, tak terkecuali, selama masih hidup di dunia, sangat mungkin mengalaminya.

Mendampingi dengan membuka wawasan

Sekalipun suasana hati sudah berubah, tak lagi bergemuruh, anak tetap membutuhkan  pendampingan. Guncangan mental yang baru saja berangsur menghilang, sangat riskan untuk ditinggalkan. Perlu ada pegangan yang tersedia baginya.

Agar, kekuatan anak menjadi pulih. Sekalipun, pemulihan tak bisa serta merta, seperti membalik telapak tangan. Ada proses yang memang harus dilewati, setahap demi setahap. Dan, di situlah peran orang yang lebih dewasa (terutama orangtua) sangat diperlukan.

Berperan sebagai pendengar si anak meluapkan semua beban yang memberat di pikirannya merupakan hal yang penting. Orangtua mesti siap menampung apa pun yang diluapkan, rasa kecewa, rasa sedih, rasa benci terhadap sekolah pilihan yang gagal diraih, dan rasa benci terhadap apa dan siapa pun.  

Cara itu akan meringankan beban anak. Sebab, ia merasa sudah memiliki tempat untuk mengadu. Ia sudah menemukan pribadi yang dipercaya. Karenanya, kondisi ini tetap harus dijaga. Agar, tercipta suasana yang dirasakan memberi perlindungan.

Berikutnya yang dilakukan orangtua adalah membuka wawasan anak. Sebab, bergemuruhnya benak anak bukan mustahil karena wawasannya belum terbuka. Memang, pada  zaman sekarang, tak kesulitan anak menemukan pengetahuan. Begitu sangat terbuka dan mudah.

Tak hanya lewat guru, pembina, pembimbing, orangtua, dan orang-orang yang dianggapnya mampu memberi penjelasan. Tapi, lewat gawai, mereka jauh lebih banyak  dapat memperoleh pengetahuan, yang bahkan tak terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun