Teman-teman selalu meledek saya mengenai ketakberanian saya melewati jalan tol. Sekalipun, sudah disediakan jalan tol yang lebar dan mulus oleh otoritas yang berwenang.Â
Ledekan itu tak sepenuhnya salah. Sebab, hingga kini, saya berkendaraan mobil melewati jalan tol bisa dihitung dengan hanya sebelah jari tangan.
Mengapa? Saya kurang percaya diri. Benar-benar kurang percaya diri. Ini tidak saya buat-buat. Serius, saya menghindari jalan tol. Padahal, sebenarnya, destinasi yang kami tuju dapat dicapai lebih cepat melewati jalan tol daripada jalan biasa.
Alasannya, saya takut tersesat. Sebab, rambu-rambu penunjuk arah yang dipasang di titik-titik tertentu di jalan tol, tak cukup kuat mengubah kedegilan otak saya. Otak saya tak dapat diajak berpikir cepat untuk bisa percaya diri.
Kalau akhirnya lebih dari satu kali saya mengendarai mobil melewati jalan tol, itu karena salah satu saudara saya mau mengajari saya.Â
Caranya, saat berangkat dalam  bepergian pada suatu waktu, saudara saya yang memegang kemudi. Sembari mengemudi, ia menunjukkan ini-itu di sepanjang jalan tol, yang seharusnya diperhatikan para  pengemudi saat melewati jalan tol.
Waktu pulang, saya yang mengoperasikan kemudi mobil. Saya melakukan seperti yang diajarkan oleh saudara saya. Saya yakin, pandangannya tak lepas dari setiap aktivitas yang saya lakukan sepanjang perjalanan.
Tentu ia ingin memastikan, apakah semua yang saya lakukan benar atau salah. Syukurlah, yang terjadi adalah kami lancar melewati jalan tol. Berarti apa yang saya lakukan di sepanjang jalan tol, benar.
Hanya, otak saya agak terganggu ketika melihat kecepatan mobil-mobil yang mendahului mobil kami. Kecepatannya mungkin tak sesuai dengan tulisan yang terpampang di sebuah papan di beberapa titik jalan tol. Tak sesuainya, bukan karena lajunya mobil terlalu lambat, tapi terlalu cepat.
Padahal, di sebuah papan di beberapa titik jalan tol (dalam kota) ada tulisan mengenai aturan kecepatan mobil.Â
Inti tulisan tersebut setidaknya seperti ini, minimal 60 km/jam; maksimal 80 km/jam. Tapi, mobil-mobil yang mendahului mobil kami, saya rasa kecepatannya melebihi aturan tertulis itu.
Saya pikir laju mobil-mobil yang menyalip mobil kami itu disengaja oleh pengemudi. Toh jalan tol itu lebar dan tanpa ada  lubang-lubang yang menghambat laju mobil. Mobil-mobil bisa melaju sangat cepat dan  segera sampai di tujuan.
Berkaitan dengan hal itu, saya bertanya kepada salah seorang teman, yang saya sebut sebagai pelanggan jalan tol karena ia sering melewati jalan tol ketika bepergian. Yaitu, tentang pandangannya terhadap  kecepatan mobil di jalan tol.
Ia mengatakan bahwa di jalan tol lebih banyak  mobil yang kecepatannya melebihi batas maksimal daripada yang tidak. Pernyataan ini sesuai dengan fakta yang saya lihat.
Ya, jumlah mobil yang melaju sangat cepat (baca: melebihi kecepatan maksimal) di jalan tol sangat banyak. Sementara itu, saya tak berani mengendarai mobil dengan cepat. Ini juga yang menjadi alasan mengapa saya tak menyukai mengendarai mobil melalui jalan tol, selain saya takut tersesat.
Maka, ke mana pun bepergian selama ini, kalau saya yang menjadi juru mudi, pasti lebih sering melewati jalan biasa. Tapi, selama melewati jalan biasa, kami justru bisa banyak belajar tentang  berbagi.
Betapa tidak, di titik-titik tertentu di sepanjang jalan yang kami lewati, benak kami selalu tergerak untuk peduli kepada orang-orang, yang dalam keterbatasannya tetap mau  berkarya.
Mereka berada di persimpangan-persimpangan jalan, yang sepertinya, tak peduli terhadap panas dan hujan.Â
Mereka membantu kami, para pengendara, agar tak mengalami tabrakan atau terjebak dalam kemacetan. Hanya  mengulurkan satu-duaribu rupiah, kami bisa melanjutkan perjalanan  dengan nyaman dan aman.
Tak hanya di persimpangan-persimpangan jalan, di bagian-bagian jalan yang menimbulkan kemacetan atau (kemungkinan) kecelakaan, mereka memberi bantuan kepada setiap pengendara, baik motor maupun mobil.Â
Ya, akhirnya setiap pengendara dapat melewati bagian jalan tersebut dengan selamat.
Ada juga yang berada di penyeberangan jalan. Menolong pengendara yang mau menyeberang. Di jalan-jalan yang padat pengendara, membantu pengendara yang mau menyeberang penuh dengan risiko. Belum lagi mereka harus bertempur melawan polusi udara dan suara.
Tapi, memang tak setiap pengendara mengulurkan keping atau lembar yang mereka harapkan. Bisa-bisa jumlah pengendara yang dibantunya banyak, tapi hanya satu-dua pengendara yang peduli.
Saya memang tak mengetahui isi hati mereka. Mereka menggerutu atau tidak kepada pengendara yang tak peduli. Tapi, setiap kami mengulurkan "kebaikan" untuknya, selalu terdengar ucapan terima kasih dan doa untuk kami, juga senyum.Â
Saya kira kepada setiap pengendara yang lain yang peduli, terdengar juga ucapan seperti ucapan untuk kami, tentu juga senyum.
Hal semacam itu tak dijumpai kalau pengendara melewati jalan tol. Sebab, di jalan tol tak ada persimpangan-persimpangan jalan, yang memungkinkan pengendara  terkendala. Dan, karenanya tak (mungkin)  juga ada orang-orang, yang dalam keterbatasannya mau berkarya di sana.
Hanya, di gardu tol otomatis (GTO), para pengendara harus mengeluarkan e-toll dan menempelkannya  ke  mesin pembaca (reader)  agar perjalanannya dapat dilanjutkan. Itu saja. Tanpa ada kontak dengan orang. Kering.
Keadaan itu sangat berbeda dengan kalau pengendara melewati jalan biasa. Sebab, pengendara selalu kontak dengan orang di persimpangan-persimpangan jalan, di penyeberangan, dan di beberapa bagian jalan di sepanjang perjalanan.
Dan, di situlah, kami dan pengendara lain yang sepilihan (baca: memilih cara yang sama) dengan kami, dapat terus belajar bagaimana berbagi kepada sesama. Memang nilainya tak sebesar kalau kami harus melewati jalan tol. Hanya sedikit, paling-paling satu-duaribu-an.
Tapi, nilai itu lebih berharga daripada kami menempelkan e-toll di GTO, sekalipun jumlah yang kami bayarkan lebih banyak. Sebab, kami, setidaknya dapat langsung membantu orang-orang yang setia dengan "pilihannya" itu demi kelangsungan hidup keluarganya di rumah.
Kadang ada di antara mereka yang terkesan "sangar" karena tubuhnya bertato, rambut gondrong, tatapan mata tajam, dan berwajah keras. Ya, memang ada yang begitu.
Tapi, ada juga yang terkesan biasa-biasa saja. Bahkan, ada juga yang terkesan kurang segar alias pucat.
Itulah warna-warni mereka. Bagi saya, mereka tetap memiliki peran penting untuk memperlancar arus lalu lintas, yang seharusnya menjadi tanggung jawab polisi.
Atau, mungkin polisi memang sengaja membiarkannya untuk mereka agar keberuntungan tetap berpihak kepada mereka.
Sungguh, karena mereka, kami dan pengendara yang sepilihan dengan kami, akhirnya bisa terus belajar tentang berbagi kepada sesama di setiap perjalanan yang kami tempuh. Siapa mau ikut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H