Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lahan Tusuk Sate Dianggap Area Horor, Mitos atau Fakta?

3 Januari 2022   10:58 Diperbarui: 16 Januari 2022   00:37 2986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah tusuk sate | Sumber: istockphoto

Sebagian orang menolak lokasi rumah atau usaha yang berada di area tusuk sate. 

Tusuk sate adalah ungkapan khas yang memiliki arti sebagian lokasi atau tempat berada di ujung jalan. Kalau jalan tersebut diperpanjang secara lurus, lokasi atau tempat tersebut akan tertembus perpanjangan jalan itu.

Karena dapat "tertembus" itulah maka sebagian orang menolak. Mereka yang menolak memaknai lokasi atau tempat tersebut tidak cocok untuk mendirikan rumah atau usaha karena dipercaya dapat mengundang petaka.

Misalnya, kata seseorang yang tak perlu saya sebut namanya karena untuk menjaga perasaan, penghuni rumah yang berada di lokasi tusuk sate mudah disalahi orang.

Maksud dia "disalahi" orang adalah diganggu secara magic oleh pihak lain, seperti disantet, diguna-guna, atau ditenung. Hingga pada era digital ini perihal santet, guna-guna, atau tenung masih melekat di sebagian keyakinan orang.

Siapa pun tidak perlu memperdebatkan perihal itu. Apalagi pihak-pihak yang memperdebatkan tentu tidak memiliki pandangan yang sama. Berdebat seperti apapun, tidak akan menemukan titik temu, yang ada selalu berbeda dan berselisih.

Jadi, pihak-pihak yang berbeda pandangan tetaplah bergerak di jalur masing-masing. Pihak yang mempercayai tetap memiliki ruang untuk memercayainya. Sedangkan, pihak yang tidak memercayai tetap memiliki ruang untuk tidak memercayainya.

Memang begitu seharusnya yang berlaku dalam masyarakat yang memiliki keragaman budaya, adat, kebiasaan, dan keyakinan. Keragaman harus dijaga, tidak ada kehendak pihak tertentu untuk menguasai pihak yang lain.

Dengan demikian masing-masing dapat tumbuh normal sesuai dengan keberadaannya. Bahkan, perlu diupayakan saling menghargai.

Saling menghargai dapat terwujud kalau pihak yang berbeda hanya "melihat", tidak terlibat atau dilibatkan. Melihat dalam pengertian mengagumi kekhasan dan keunikan yang dimiliki pihak lain.

Mengagumi tidak berarti menghanyutkan diri ke dalamnya, tetapi memberi apresiasi terhadap kekhasan dan keunikan yang dilihat. Itu berarti turut merasakan apa yang dirasakan oleh pihak yang memiliki kekhasan dan keunikan itu.

Berkaitan dengan orang-orang yang memiliki keyakinan tentang tusuk sate, saya tidak serta merta emoh.  Saya menyambutnya dengan terbuka, senang hati, dan peduli. Memberi kesempatan mereka untuk berbicara.

Toh, setiap orang memang memiliki hak untuk berbicara di depan orang lain. Saya juga memiliki hak berbicara seperti mereka.

Mendengarkan pembicaraannya (sejauh diberi kesempatan) tidak merugikan. Justru kalau mengikutinya dengan cermat, bukan mustahil ada pengetahuan baru yang perlu juga dimengerti.

Seperti, ketika salah satu teman mengutarakan sesuatu yang berkaitan dengan lahan tusuk sate. 

Ia mengatakan bahwa lokasi tusuk sate disebut sebagian orang sebagai tempat untuk membuang sampah.

Sampah yang dimaksud tidak sampah dapur, rumah tangga, atau sampah industri, tetapi barang-barang yang berkaitan dengan perklenikan.

Maka, saya baru menyadari kalau saat saya mau membangun rumah ada sebagian warga setempat yang menyebut lokasi rumah saya, dulunya tempat "membuang sampah". Ya, sebutan itu akhirnya saya simpulkan berkaitan dengan perklenikan.

Saat membangun rumah kala itu, saya tidak mengerti maksud tersebut. Saya hanya mengerti kalau lokasi itu bekas pembuangan sampah. Saya mengetahuinya karena saat menggali tanah untuk pondasi banyak sampah plastik.

Tidak mudah mencangkulinya karena sampah-sampah tersebut sudah sangat lama terpendam. Bercampur tanah dan sampah plastik tidak mudah rusak. Begitu alot dicangkul.

Separuh lokasi untuk mendirikan rumah kami memang bekas lubang. Kata orang-orang asli kampung tersebut, lubang itu bekas galian pasir.

Dulu, kata mereka, pasirnya banyak. Tetapi, karena bekas galian pasir itu berlubang yang bisa membahayakan orang, maka dibuangi macam-macam sampah oleh warga setempat. Termasuk juga dibuangi barang-barang perklenikan. Hehehe.

Barang-barang perklenikan selalu bisa dikaitkan dengan lokasi tusuk sate. Karena kata teman saya (yang sudah saya sebut tadi), lokasi tusuk sate sering digunakan orang sebagai tempat membuang benda-benda klenik.

Saya tidak mengetahui alasannya. Teman saya juga tidak menjelaskan alasannya. Saya tidak mengetahui apakah ia mengerti alasannya atau tidak. 

Saya pun awalnya tak hendak mencari tahu secara "jelimet" mengapa lokasi tusuk sate sering digunakan orang membuang hal-hal begituan. Tapi, akhirnya saya menduga dengan berpikir sederhana. Mungkin alasannya karena lokasi tusuk sate termasuk lokasi terakhir persis di ujung jalan. Tempat atau area yang buntu. Sehingga, sangat mungkin orang tidak mau menempati. Ya, akhirnya dibuangi macam-macam sampah.

Dan, oleh orang-orang yang berkeyakinan khusus, tempat itu juga dibuangi benda-benda klenik yang sering mereka sebut dengan ungkapan "membuang sial". 

Maka akhirnya muncul anggapan kalau lokasi atau tempat tusuk sate tidak cocok untuk hunian atau usaha karena di lokasi itu sebagai tempat pembuangan "sampah" atau sial.

Celakanya, sebagian orang meyakini bahwa orang yang menghuni atau membuka usaha di tempat tersebut pasti mendapat sial, petaka, tidak berhasil usahanya, dan prasangka-prasangka lain yang sejenis.

Berkaitan dengan perihal itu, saya tak menolak saat ada teman (yang berbeda dengan teman yang sudah saya sebut di atas) berbagi cerita. 

Begini, ada beberapa anggota keluarga yang mana masih kerabatnya menghuni rumah di lokasi tusuk sate mengalami sakit secara bergantian. Sakitnya sangat serius, sehabis orang tua mereka sakit, disusul anaknya, dan begitu beberapa kali terjadi, seakan bergilir.

Bahkan, salah seorang kerabat keluarga tersebut yang biasanya sehat-sehat saja, sejak bergabung di rumah itu, juga jatuh sakit yang serius. Agaknya pikiran teman saya yang satu ini "sedikit terpengaruh" oleh mitos tusuk sate.

Akan tetapi, sedikit pengaruh itu rupanya tidak bertahan lama. Sebab, setelah menceritakan sakit kerabatnya, ia segera menjelaskan usaha penyembuhannya. 

Awalnya usaha penyembuhan lewat "orang pintar". Karena tidak seperti yang diharapkan, selanjutnya usaha penyembuhan dilakukan secara medis. Cara penyembuhan kedua ini yang akhirnya sesuai harapan. Sakit yang mereka alami berangsur hilang dan akhirnya sembuh.

Saya kemudian mengerti bahwa teman saya ini tidak percaya kalau sakit kerabatnya diakibatkan oleh hunian mereka yang berada di lokasi tusuk sate. Sakit mereka karena faktor medis. Dan, kerabatnya hingga sekarang masih menempati rumah tersebut. Mereka dalam keadaan sehat dan tak ada sial yang menimpa.

Jauh sebelum teman saya bercerita, saya memiliki pengalaman. Ada seseorang yang oleh saudara kami dianggap sebagai "orang pintar" menyuruh sebagian pagar rumah kami yang berada persis di ujung jalan ditutup dengan fiber.

Dalam batin, saya menolak. Apalagi penutupan itu dikaitkan dengan perihal klenik, yaitu agar saya dan keluarga tidak mudah "disalahi" orang.

Penolakan saya dalam batin (tidak saya ucapkan) adalah sebagai wujud sikap menghargai "orang pintar" tersebut. Dengan demikian ia tetap memiliki ruang untuk beraksi. Saya tidak menyinggungnya meskipun saya tidak menuruti nasihatnya.

Sebab, saya memahami fiber lebih berfungsi untuk menutup pandangan orang dari luar pagar dan menghambat udara menerobos ke dalam area rumah ketimbang menolak magik.

Letak sebagian rumah kami memang berada di ujung jalan. Dan, sebagiannya tidak. Karena persis di depan rumah kami, ada pertigaan. 

"Orang pintar" itu mengatakan rumah kami berada di area tusuk sate. Tetapi, kami sudah menghuninya 14 tahun dan merasa nyaman. Tidak ada kejadian yang membuat kami harus berpikir serius alias berat. Biasa saja. 

Seperti yang oleh orang-orang lain mengalami, kami pun mengalami. Seperti sedih-senang; kurang-lebih; sakit-sehat; dan sejenisnya dalam perjalanan hidup sebagai hal yang lumrah. Semua bisa kami lewati.

Kami setiap hari menyapu sampah, baik di dalam maupun di luar rumah. Mengumpulkannya dan menaruhnya di bak sampah rumah tangga di depan rumah. Dua hari sekali tukang sampah mengambilnya. Seperti juga di tempat tetangga. Sehingga keadaan lingkungan dan sekitar rumah kami bersih.

Kebiasaan kami bersih-bersih, menyapu, dan mengepel secara rutin mampu menjadikan lingkungan dan sekitar rumah kami terjaga bersih. Tidak ada orang --tetangga atau bukan tetangga-- yang membuang sampah di lokasi seputaran rumah kami. Jadi area di seputaran rumah kami yang oleh orang-orang tertentu dibilang "tidak bersih" karena tusuk sate, kebersihannya tetap terjaga.

Selain kami, mungkin ada banyak orang yang memiliki rumah di area tusuk sate. Apalagi sekarang sudah mulai sulit mencari area untuk perumahan. Buktinya, banyak lahan produktif, sawah atau kebun, yang diuruk lalu dipergunakan untuk permukiman.

Sangat mungkin orang tidak lagi memikirkan lokasi tertentu tusuk sate atau bukan. Yang terpenting mereka segera mendapat tanah untuk membangun rumah. Segera dapat menghuninya. Dan, di situ mereka membangun keluarga.

Boleh jadi kini semakin banyak orang yang mendirikan rumah di lahan-lahan yang dulu jarang dijamah orang. Sebab, lahan-lahan di perkampungan sudah padat. Satu-satunya pilihan adalah membuka lahan baru untuk permukiman.

Permukiman di atas bong| ilustrasi diambil dari www.ayosemarang.com
Permukiman di atas bong| ilustrasi diambil dari www.ayosemarang.com

Bahkan, di beberapa daerah ada warga yang membangun hunian di lahan pemakaman. Biasanya pemakaman peninggalan zaman kolonial. 

Pembangunan hunian di sana tidak serentak, tapi sedikit demi sedikit. Cara seperti ini hanya strategi agar tidak mengundang perhatian massa. Lambat laun lahan pemakaman berubah menjadi perkampungan.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa orang tidak lagi merasa khawatir menempati lahan-lahan yang horor. Tempat yang jelas-jelas untuk mengubur orang mati tidak lagi menakutkan.

Kuburan yang identik dengan tempat "makhluk dunia lain" tidak membuat mereka giris. Bukan mustahil mereka malah berpikir "makhluk dunia lain" sudah pindah karena tempatnya terdesak. Ada masyarakat baru yang menghuni, yang membuat tempat itu selalu ramai dan terang.

Sebenarnya hunian atau tempat usaha di lahan tusuk sate tak sehoror pemakaman yang berubah menjadi permukiman. 

Ya, kalau bong saja dapat menjadi permukiman yang nyaman dan aman bagi sebagian orang, maka lebih lagi nyaman dan aman lahan tusuk sate untuk hunian atau tempat usaha karena hanya bekas pembuangan "sampah".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun