Mengagumi tidak berarti menghanyutkan diri ke dalamnya, tetapi memberi apresiasi terhadap kekhasan dan keunikan yang dilihat. Itu berarti turut merasakan apa yang dirasakan oleh pihak yang memiliki kekhasan dan keunikan itu.
Berkaitan dengan orang-orang yang memiliki keyakinan tentang tusuk sate, saya tidak serta merta emoh. Â Saya menyambutnya dengan terbuka, senang hati, dan peduli. Memberi kesempatan mereka untuk berbicara.
Toh, setiap orang memang memiliki hak untuk berbicara di depan orang lain. Saya juga memiliki hak berbicara seperti mereka.
Mendengarkan pembicaraannya (sejauh diberi kesempatan) tidak merugikan. Justru kalau mengikutinya dengan cermat, bukan mustahil ada pengetahuan baru yang perlu juga dimengerti.
Seperti, ketika salah satu teman mengutarakan sesuatu yang berkaitan dengan lahan tusuk sate.Â
Ia mengatakan bahwa lokasi tusuk sate disebut sebagian orang sebagai tempat untuk membuang sampah.
Sampah yang dimaksud tidak sampah dapur, rumah tangga, atau sampah industri, tetapi barang-barang yang berkaitan dengan perklenikan.
Maka, saya baru menyadari kalau saat saya mau membangun rumah ada sebagian warga setempat yang menyebut lokasi rumah saya, dulunya tempat "membuang sampah". Ya, sebutan itu akhirnya saya simpulkan berkaitan dengan perklenikan.
Saat membangun rumah kala itu, saya tidak mengerti maksud tersebut. Saya hanya mengerti kalau lokasi itu bekas pembuangan sampah. Saya mengetahuinya karena saat menggali tanah untuk pondasi banyak sampah plastik.
Tidak mudah mencangkulinya karena sampah-sampah tersebut sudah sangat lama terpendam. Bercampur tanah dan sampah plastik tidak mudah rusak. Begitu alot dicangkul.
Separuh lokasi untuk mendirikan rumah kami memang bekas lubang. Kata orang-orang asli kampung tersebut, lubang itu bekas galian pasir.