Sebagian orang menolak lokasi rumah atau usaha yang berada di area tusuk sate.Â
Tusuk sate adalah ungkapan khas yang memiliki arti sebagian lokasi atau tempat berada di ujung jalan. Kalau jalan tersebut diperpanjang secara lurus, lokasi atau tempat tersebut akan tertembus perpanjangan jalan itu.
Karena dapat "tertembus" itulah maka sebagian orang menolak. Mereka yang menolak memaknai lokasi atau tempat tersebut tidak cocok untuk mendirikan rumah atau usaha karena dipercaya dapat mengundang petaka.
Misalnya, kata seseorang yang tak perlu saya sebut namanya karena untuk menjaga perasaan, penghuni rumah yang berada di lokasi tusuk sate mudah disalahi orang.
Maksud dia "disalahi" orang adalah diganggu secara magic oleh pihak lain, seperti disantet, diguna-guna, atau ditenung. Hingga pada era digital ini perihal santet, guna-guna, atau tenung masih melekat di sebagian keyakinan orang.
Siapa pun tidak perlu memperdebatkan perihal itu. Apalagi pihak-pihak yang memperdebatkan tentu tidak memiliki pandangan yang sama. Berdebat seperti apapun, tidak akan menemukan titik temu, yang ada selalu berbeda dan berselisih.
Jadi, pihak-pihak yang berbeda pandangan tetaplah bergerak di jalur masing-masing. Pihak yang mempercayai tetap memiliki ruang untuk memercayainya. Sedangkan, pihak yang tidak memercayai tetap memiliki ruang untuk tidak memercayainya.
Memang begitu seharusnya yang berlaku dalam masyarakat yang memiliki keragaman budaya, adat, kebiasaan, dan keyakinan. Keragaman harus dijaga, tidak ada kehendak pihak tertentu untuk menguasai pihak yang lain.
Dengan demikian masing-masing dapat tumbuh normal sesuai dengan keberadaannya. Bahkan, perlu diupayakan saling menghargai.
Saling menghargai dapat terwujud kalau pihak yang berbeda hanya "melihat", tidak terlibat atau dilibatkan. Melihat dalam pengertian mengagumi kekhasan dan keunikan yang dimiliki pihak lain.