Tetapi, dalam catatan ini saya tidak menyoal bahasa prokem, karena bahasa prokem merupakan buah kreativitas berbahasa.Â
Saya hanya menyoal bahasa chatting yang abai terhadap kaidah berbahasa yang benar karena bahasa chatting yang demikian merupakan wujud "keegoisan" berbahasa seseorang. Artinya, orang semaunya menyingkat, tak mau mengikuti yang lazim.
Meskipun begitu, dalam kalangan tertentu tidak menimbulkan persoalan dalam komunikasi. Karena, mereka sudah terbiasa menggunakannya.Â
Bagi mereka, penyingkatan kata yang tidak lazim, pengabaian tanda baca, dan kesalahan berbahasa lainnya dalam chatting mungkin tidak menyulitkan dalam pemahaman pesan.Â
Kebiasaan mereka boleh jadi tak menghalangi komunikasi. Akan tetapi, menjadi persoalan kalau komunikasi seperti itu digunakan dalam kalangan yang berbeda.Â
Orang yang diajak chatting mungkin sulit memahami pesan yang disampaikan. Hal ini tentu menghambat proses komunikasi. Dan bukan mustahil akhirnya justru  memutus komunikasi. Kalau sudah demikian, berbahasa menjadi sia-sia. Sebab, bahasa sebagai alat komunikasi kurang  -- untuk menghindari pemakaian kata "tidak"-- berfungsi.
Kebiasaan berbahasa buruk dalam chatting tidak hanya menghambat hubungan sosial antar sesama, tetapi juga menimbulkan kerancuan berbahasa, terutama bagi anak-anak sekolah.Â
Bahasa siswa menjadi kacau karena kebiasaan berbahasa buruk dalam chatting rupanya memengaruhi penguasaan pelajaran bahasa (Indonesia).
Hal tersebut sesuai dengan hasil survei yang baru saya lakukan melalui google form terhadap siswa di sekolah tempat saya mengajar.Â
Dari 519 siswa ada 49,6 persen menyatakan setuju dan 33, 5 persen mengatakan sangat setuju terhadap pernyataan "Penggunaan bahasa dalam chatting berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa tulis dalam pembelajaran", sisanya menyatakan kurang setuju dan tidak setuju.Â
Fakta itu terjadi karena chatting seolah tidak (pernah) berhenti --terus berlangsung sepanjang waktu-- sementara mempelajari bahasa Indonesia sangat terbatas.Â