Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Prei, Momen Mengumpulkan yang Berdiaspora

27 Desember 2019   21:08 Diperbarui: 28 Desember 2019   02:42 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cucu-cucu siap-siap menerima angpau. (dok.pribadi)

Prei atau libur menjadi momen untuk berkumpul. Sebab, sebagian besar orang lazimnya kembali ke tempat asal karena libur. Libur dari rutinitas bekerja, ini tentu saja bagi mereka yang bekerja di luar tempat asal. Mereka yang sudah merantau jauh.

Memang budaya merantau sudah sejak lama terjadi di negara kita. Dari satu daerah ke daerah lain. Umumnya, dari pedesaan ke perkotaan. Karena di perkotaan lebih banyak peluang tempat untuk bekerja daripada di pedesaan.

Di perkotaan banyak didirikan perusahaan, yang membutuhkan banyak karyawan. Sehingga orang-orang dari pedesaan berbondong-bondong ke perkotaan. Pedesaan mereka tinggalkan menuju perkotaan dengan harapan dapat mengubah peruntungan.

Memang peruntungan di pedesaan, terutama tiga dekade yang lalu, tidak menjanjikan. Di daerah saya banyak lahan pertanian yang tidak disukai oleh generasi muda. Karena ketika itu generasi muda gengsi bekerja sebagai petani.

Rendahnya pendidikan generasi muda pedesaan kala itu, membatasi mereka berinovasi dalam pertanian. Sehingga apa yang dilakukan oleh generasi tua dalam bertani, itu yang mereka mengerti. Dan, kalau mereka terpaksa harus bertani, pasti bertani sesuai dengan gaya orang tua mereka bertani. Tak ada perubahan.

Mencangkul, membajak, menebar benih, merawat bibit, menangkarkan ke lahan pertanian merupakan aktivitas petani sehari-hari. Mereka bergelut dengan lumpur tanah, terik matahari saat musim kemarau, dan dingin air saat musim hujan. Selalu kotor dan bekerja keras adalah persepsi sebagian besar generasi muda ketika itu. Sehingga, sekali lagi, mereka gengsi menjadi petani.

Pilihan mereka akhirnya berlari ke kota meskipun dengan pendidikan yang pas-pasan. Mau tidak mau mereka bekerja sebagai karyawan di perusahaan (pabrik). Beberapa generasi muda yang memang bernasib baik, bisa mendapatkan posisi bekerja yang lumayan dengan upah yang tentu lumayan juga.

Seiring perkembangan zaman, banyak generasi muda pedesaan yang pendidikannya tinggi. Tetapi, mereka ini pun tidak mau mengolah tanah pertanian secara modern. Mereka tetap mengejar peruntungan ke perkotaan. Hanya, level mereka dalam bekerja mulai meningkat sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Kelompok ini yang relatif berhasil hidup di perantauan.

Bahkan, karena pengalaman hidup di perkotaan dan keberanian mengambil risiko, beberapa dari mereka berusaha menciptakan lapangan pekerjaan. Misalnya, membuka warung makan, membuat kios, menjadi pedagang kaki lima, dan lain sebagainya. Mulai tumbuh jiwa berusaha. Kelompok ini pun juga mengalami sukses hidup di kota perantauan.

Makanya, terus berkembang dari waktu ke waktu. Semakin bertambah banyak generasi muda pedesaan yang bekerja di perkotaan. Karena keberhasilan teman di perantauan ditiru atau diikuti segenerasinya. Bahkan, generasi berikutnya. Pola demikian itu berlangsung hingga sekarang. Selesai kuliah, misalnya, mereka mencari pekerjaan ke kota atau berusaha di kota.

Apalagi kini, di pedesaan memang semakin sulit orang mendapat pekerjaan. Selain tanah pertanian yang  semakin berkurang karena untuk area permukiman, juga jumlah generasi muda semakin banyak, yang berdampak pada tingkat kompetisi yang tinggi. Kenyataan tersebut mengakibatkan tidak mudah menemukan pekerjaan.

Meskipun tidak boleh dimungkiri, kini pun, tak sedikit juga yang kembali ke kampung halaman membuka usaha ala kota. Pengalaman sehari-hari mereka di kota agaknya menginspirasi mereka untuk berbisnis di desa. Buktinya, kita banyak menjumpai kedai makan dan sejenisnya menjamur di desa. Arsitektur bangunannya, menunya, dan pelayanannya mirip dengan yang ada di kota-kota.

Walaupun begitu, jumlah generasi urban masih lebih banyak ketimbang yang pulang ke desa membuka usaha. Berdiaspora ke berbagai kota semacam pilihan hidup agar tetap survives.

Kerinduan ingin pulang yang lama terpendam, karena setahun atau lebih disibukkan dengan pekerjaan, waktu libur dapat menjadi momen untuk berkumpul. Seperti saat Natal, Idul Fitri atau hari-hari raya lainnya, misalnya Waisak, kaum urban kembali ke habitat leluhur.

Kalau orang tua masih ada, mereka berkumpul di rumah orang tua. Tetapi, kalau orang tua sudah tiada, mereka lazimnya tetap berkumpul di rumah yang ditinggalkan oleh orang tua. Tentu saja kalau rumah tersebut (masih) ditempati oleh orang yang masih masuk dalam garis keturunan, entah anak atau cucu.

Rumah leluhur menjadi pengikat generasi yang berdiaspora untuk berkumpul. Ada kekuatan batin yang mendorong secara kuat untuk itu. Rasanya begitu sakral dan membahagiakan. Ya, karena membuka memori lama dan bersama-sama mengingat kekhasan masa lampau, nenek-moyang, dan leluhur.

Petuah, cerita, dan angpau
Saat berkumpul, cicit, cucu, anak, menantu, dan saudara biasanya masih mengerumuni nenek atau kakek, kalau masih ada. Sebab, beliau menjadi pusat berkumpul.

Dalam momen seperti itu, ada banyak petuah dan cerita dari beliau. Yang menjadi perhatian saya dan terpenting dari sekian banyak petuah dan cerita adalah semua diharapkan membangun kerukunan.

Cucu-cucu siap-siap menerima angpau. (dok.pribadi)
Cucu-cucu siap-siap menerima angpau. (dok.pribadi)
Ya, kerukunan. Dari sekian banyak generasi keturunan yang hidupnya berdiaspora di mana-mana perlu mengikat kerukunan. Dalam momen libur seperti saat ini diharapkan menjadi salah satu wadah untuk berkumpul. Membangun keguyuban dan keakraban persaudaraan.

Kalau persaudaraan tidak diikat dalam waktu-waktu tertentu, dalam konteks masa kini, sangat mudah terlepas. Sebab, masing-masing memiliki kesibukan. Masing-masing membangun karier. Memikirkan masa depan anak-anak. Dan, ada banyak lagi yang dipikirkan untuk keluarga.

Itu sebabnya, petuah untuk tetap hidup rukun satu dengan yang lain sangat relevan untuk anak, menantu, cucu, cicit, dan saudara, di zaman ini. Zaman ini memang menuntut kolaborasi banyak pihak. Kalau tuntutan itu tidak dipenuhi, bisa-bisa kehilangan survives.

Selain itu, untuk memotivasi terutama bagi cucu dan cicit, beliau biasanya bercerita tentang perjuangan hidupnya. Bagaimana beliau harus tetap survives. Bekerja keras. Tidak pantang menyerah. Tidak malu bekerja apa pun. Dan, jujur dalam hal apa pun serta bertanggung jawab.

Saat nenek dan kakek bercerita, semua cucu dan cicit mendekat. Mengambil posisi duduk di depan, berhadapan dengan nenek dan kakek. Mereka mendengarkan secara sungguh-sungguh cerita nenek dan kakek. Seakan tidak ada yang ingin dilewatkan. Apalagi biasanya nenek dan kakek bercerita diselingi humor. Mereka seperti sangat terhibur.

Sebagai orang tua dari cucu-cucu beliau, kami, lebih-lebih saya sendiri, merasa sangat senang dan beruntung. Karena, mendengar langsung cerita pengalaman hidup nenek dan kakek mereka akan lebih berdampak daripada kami yang menceritakannya.

Beliau lebih fasih bercerita daripada kami. Sebab, secara jujur, kami tidak pernah mendongeng untuk anak-anak kami selama ini. Hal yang berbeda dengan nenek dan kakek mereka yang kadang-kadang masih mendongeng kepada kami ketika kami masih kanak-kanak.

Momen yang ditunggu oleh anak-anak adalah pembagian angpau. Mereka akan mendapat angpau dari nenek dan kakek. Juga akan mendapatkan angpau dari om dan tante (bulik dan paklik; bude dan pakde). Jadi, mereka pasti mendapat banyak uang.

Hanya, kami sebagai orang tua memang sudah bersepakat terlebih dahulu tidak setahu mereka tentang berapa jumlah uang untuk angpau.

Kami menyediakan uang dengan jumlah yang sama dalam setiap amplop. Jadi, anak-anak kami akan menerima amplop dan uang dalam jumlah yang sama. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mendapat uang lebih ketimbang yang lain.

Cara seperti itu kami lakukan agar tidak ada perbedaan di antara mereka. Pun tidak ada perbedaan di antara kami, orang tua-orang tua mereka, di hadapan mereka. Kami sama. Tidak ada yang dipandang kaya. Pun tidak ada yang dipandang kurang kaya. Kami melihat dengan cara begitu mereka begitu akrab dan merasa bahagia.

Makan-makan
Satu hal yang menjadi penanda berkumpul, di mana, kapan, dan siapa pun adalah makan-makan. Dalam kami berkumpul tidak ada menu yang mewah-mewah. Menunya sederhana saja. Sesuai dengan konteks desa sebab kami orang-orang desa.

Ada sayur bening, lodeh, dan ikan asin. Ayam goreng, opor ayam, tempe dan tahu goreng juga ada. Yang tidak ketinggalan adalah sayur urap. Jenis sayur itu kesukaan saya.

Oh, ya, ada juga mi goreng, semur jengkol dan petai. Petai juga kesukaan saya. Sambal terasi selalu ada. Menu pokok pastilah itu: nasi putih. Jenis minuman, teh manis dan air putih. Es sirup disediakan. Ini disukai oleh anak-anak. Berbagai jajan juga ada. 

Menu makanan saat berkumpul dinikmati bersama. (dok.pribadi)
Menu makanan saat berkumpul dinikmati bersama. (dok.pribadi)
Kami menikmati makanan tersebut bareng-bareng. Masing-masing mengambil jenis menu yang disukai. Menikmati makanan kesukaan secara bersama-sama dengan berkumpul semua saudara memang ada sensasi tersendiri. Apalagi momen begini, setahun sekali terjadi. Suasana yang berbeda kami mendapatinya.

Selain itu, di antara kami yang menyukai durian, juga makan durian. Kebetulan libur saat ini, di daerah kami, sedang musim durian. Jadi, mudah dan lebih murah mendapatkan durian. Sayang, saya tidak menyukai buah yang satu ini. Tetapi, saya merasa bahagia melihat mereka melahap durian. 

Makan durian bersama-sama. (dok.pribadi)
Makan durian bersama-sama. (dok.pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun