Meskipun tidak boleh dimungkiri, kini pun, tak sedikit juga yang kembali ke kampung halaman membuka usaha ala kota. Pengalaman sehari-hari mereka di kota agaknya menginspirasi mereka untuk berbisnis di desa. Buktinya, kita banyak menjumpai kedai makan dan sejenisnya menjamur di desa. Arsitektur bangunannya, menunya, dan pelayanannya mirip dengan yang ada di kota-kota.
Walaupun begitu, jumlah generasi urban masih lebih banyak ketimbang yang pulang ke desa membuka usaha. Berdiaspora ke berbagai kota semacam pilihan hidup agar tetap survives.
Kerinduan ingin pulang yang lama terpendam, karena setahun atau lebih disibukkan dengan pekerjaan, waktu libur dapat menjadi momen untuk berkumpul. Seperti saat Natal, Idul Fitri atau hari-hari raya lainnya, misalnya Waisak, kaum urban kembali ke habitat leluhur.
Kalau orang tua masih ada, mereka berkumpul di rumah orang tua. Tetapi, kalau orang tua sudah tiada, mereka lazimnya tetap berkumpul di rumah yang ditinggalkan oleh orang tua. Tentu saja kalau rumah tersebut (masih) ditempati oleh orang yang masih masuk dalam garis keturunan, entah anak atau cucu.
Rumah leluhur menjadi pengikat generasi yang berdiaspora untuk berkumpul. Ada kekuatan batin yang mendorong secara kuat untuk itu. Rasanya begitu sakral dan membahagiakan. Ya, karena membuka memori lama dan bersama-sama mengingat kekhasan masa lampau, nenek-moyang, dan leluhur.
Petuah, cerita, dan angpau
Saat berkumpul, cicit, cucu, anak, menantu, dan saudara biasanya masih mengerumuni nenek atau kakek, kalau masih ada. Sebab, beliau menjadi pusat berkumpul.
Dalam momen seperti itu, ada banyak petuah dan cerita dari beliau. Yang menjadi perhatian saya dan terpenting dari sekian banyak petuah dan cerita adalah semua diharapkan membangun kerukunan.
Kalau persaudaraan tidak diikat dalam waktu-waktu tertentu, dalam konteks masa kini, sangat mudah terlepas. Sebab, masing-masing memiliki kesibukan. Masing-masing membangun karier. Memikirkan masa depan anak-anak. Dan, ada banyak lagi yang dipikirkan untuk keluarga.
Itu sebabnya, petuah untuk tetap hidup rukun satu dengan yang lain sangat relevan untuk anak, menantu, cucu, cicit, dan saudara, di zaman ini. Zaman ini memang menuntut kolaborasi banyak pihak. Kalau tuntutan itu tidak dipenuhi, bisa-bisa kehilangan survives.
Selain itu, untuk memotivasi terutama bagi cucu dan cicit, beliau biasanya bercerita tentang perjuangan hidupnya. Bagaimana beliau harus tetap survives. Bekerja keras. Tidak pantang menyerah. Tidak malu bekerja apa pun. Dan, jujur dalam hal apa pun serta bertanggung jawab.
Saat nenek dan kakek bercerita, semua cucu dan cicit mendekat. Mengambil posisi duduk di depan, berhadapan dengan nenek dan kakek. Mereka mendengarkan secara sungguh-sungguh cerita nenek dan kakek. Seakan tidak ada yang ingin dilewatkan. Apalagi biasanya nenek dan kakek bercerita diselingi humor. Mereka seperti sangat terhibur.