Sebelum berangkat menjemput si sulung di luar kota, Si Ragil sudah menawar tidak ikut berlatih musik. Saya menolaknya karena perhitungan saya waktunya cukup. Empat jam pulang-pergi, perjalanan relatif santai. Tidak perlu kencang berkendara.
Sekalipun begitu, untuk mengantisipasi, saya memintanya alat musiknya dibawa serta. Sehingga sepulang menjemput kakaknya, bisa langsung ke lokasi tempat berlatih. Tidak perlu pulang terlebih dahulu, mengambil alat musik, lalu menuju ke tempat Si Ragil berlatih musik.
Permintaan saya dipenuhinya dengan suka cita. Sikap suka citanya terlihat sekali karena ia tidak menolak permintaan saya. Alat musiknya langsung diambil. Lalu, ditaruh jok belakang yang kosong. Sebab, saya dan istri di depan. Si ragil di bagian tengah. Itu pun ia sendiri. Pas kalau ada kakaknya, jok tengah berisi dua orang.
Singkat cerita, Si Ragil bisa mengikuti latihan musik. Ia tidak terlambat berlatih. Sebab, ketika tiba di lokasi berlatih, belum lengkap. Masih menunggu beberapa anak. Tetapi, guru pembimbingnya sudah menunggu.
Di dalam semuanya itu ada sikap yang saya catat dari si ragil: menghindari yang membebani. Berlatih musik merupakan aktivitas yang membebani Si Ragil ketimbang aktivitas jalan-jalan (menjemput kakaknya).Â
Perjalanan keluar kota baginya menyenangkan karena tidak berpikir mengenai berlatih musik. Cukup berada dalam kendaraan sembari menghidupkan gawai, ngegame. Atau, beberapa saat menikmati perjalanan, lantas tidur.
Sikap menghindari beban atau memilih yang santai dan ringan sangat mudah ditemukan pada anak-anak sekolah. Ketika anak-anak diberi tahu secara mendadak bahwa besok libur sekolah, suara ungkapan kegembiraan memecah suasana kelas disertai riuh tepuk tangan.
Tetapi, dengan cara yang sama anak-anak diberi tahu kalau pulangnya agak siang dari biasanya, mereka langsung menyambutnya dengan gerutu. Huuu! Suara gemuruh memenuhi ruang kelas. Bahkan, bukan mustahil suara gemuruh merebak hingga luar dan menembus ruang-ruang  kelas lain.
Tampaknya hal tersebut terjadi atas banyak orang, termasuk orang dewasa. Juga yang berprofesi sebagai guru. Kami, para guru, sering mengalaminya dan sangat terlihat dalam acara-acara pelatihan.Â
Berkaitan dengan waktu, kami bisa bersikap seperti anak-anak ketika diberi tahu kalau jam pulang hingga sorea. Kami menolaknya dengan suara gemuruh: huuuuu!
Tetapi, kalau diberi tahu waktunya pulang agak siang, kurang dari waktu yang tertera dalam jadwal, suara tepuk tangan  kegembiraan memenuhi ruang pelatihan. Raut wajah berbinar-binar terpancar suka ria.
Nyaris hampir semua orang cenderung memilih santai ketimbang beban. Sangat manusiawi. Toh hidup memang ada dua sisi.Â
Gelap dan terang. Mati dan hidup. Sedih dan gembira. Ringan dan berat. Masih banyak deretan kata sejenis yang dapat ditulis. Tetapi, sejumlah yang dituliskan itu cukup membuka spektrum berpikir kita mengetahui bahwa itulah kenyataan hidup yang kita jalani saban hari.
Oleh karena itu, ada upaya orang untuk membangun keseimbangan. Orang mencari hiburan  setelah sibuk beraktivitas. Di lembaga pendidikan, misalnya, selama ini ada kegiatan rekreasi setelah sekian lama anak-anak sibuk belajar. Mulai anak PAUD hingga perguruan tinggi aktivitas tersebut dilakukan.
Dan, menariknya, aktivitas rekreasi tersebut dilakukan sesuai konteksnya. Objek rekreasi Anak-anak PAUD, misalnya, jaraknya dekat. Anak-anak SD mulai agak jauh objek rekreasinya. Pola yang sama dilakukan untuk anak-anak SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikannya semakin jauh destinasi yang dipilih dan tentu semakin mahal harga yang harus ditanggung.
Pegawai atau karyawan, baik negeri maupun swasta, juga masyarakat di tingkat RT, RW, dan desa ada yang melakukan aktivitas rekreasi. Keluarga-keluarga milenial, menjadikan rekreasi sebagai aktivitas yang dijadwalkan sehingga terencana secara modern.
Membangun keseimbangan yang terencana (secara modern) memang baik. Â Ada saatnya terbeban berat; ada saatnya terhibur, rileks, santai, dan bersenang-senang. Tetapi, kalau tidak terencana alias mendadak dengan cara membatalkan segala sesuatu yang kesannya membebani, lalu beralih ke segala sesuatu yang ringan, aduh, ini sangat menyedihkan.
Mengapa? Karena ini memilih cara gampangnya saja. Tanpa memikirkan dampak yang timbul. Jika dalam sebuah tim, dampaknya tentu sangat terasa. Hanya karena untuk kesenangan pribadi, kepentingan tim diabaikan. Dapat mengecewakan banyak pihak bukan?
Dan, Si Ragil tergabung dalam sebuah tim musik. Banyak orang yang terlibat di dalamnya. Satu dengan yang lain (tentu) saling berkaitan. Boleh jadi kalau satu saja personilnya tidak datang, yang lain mengalami kesulitan. Jadi, kalau tiba-tiba si ragil minta izin tidak datang berlatih hanya untuk menjemput kakaknya, betapa amatirnya.
Untung saja saya menemukan cara supaya ia (seakan) tetap profesional. Ia bisa ikut menjemput kakaknya, tetapi dapat juga berlatih musik. Saya mengekang keinginan Si Ragil karena saya memiliki "kekuatan" selaku orang tua.
"Kekuatan" itu seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Berdiam di dalam dirinya masing-masing. Dengan begitu, ketika ada upaya untuk meninggalkan segala sesuatu yang seakan membebani untuk beralih ke segala sesuatu yang menyenangkan, tidak terpenuhi. Kalau (ternyata) keinginan itu terpenuhi, jadinya ya amatir itu.
Ya, sesungguhnya "kekuatan" itu tidak harus ada pada orang lain. Misalnya, pada orang tua, kakak, guru, paman, tante, kakek, nenek, kepala sekolah, dan ketua komunitas. Sebab, orang-orang yang memiliki "kekuatan" tersebut tidak selalu ada bersama kita. Justru "kekuatan" yang senantiasa menyertai kita di mana, kapan, dan saat bagaimana pun adalah "kekuatan" kita sendiri.
Sayang, saya sering kehilangan "kekuatan" itu. Seperti Si Ragil. Â Yang, karena kekuatannya hilang, saya harus mengekangnya. Semoga Anda tidak seperti saya dan Si Ragil ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H