Tetapi, toh sampai sekarang peringkat selalu menjadi teror terutama bagi orang tua/wali siswa dan anak. Sangat terlihat dalam sikap mereka ketika tiba musim penerimaan rapor. Tidak dapat disembunyikan perasaan khawatir, deg-degan, dan sejenisnya ketika menjelang menerima rapor. Sebelum rapor ada di tangan mereka, selalu ada perasaan tidak nyaman.
Karena yang terpikirkan selalu peringkat. Lalu, kalau rapor sudah berada di tangan mereka yang berarti mereka sudah mengetahui peringkatnya, beralih menanyakan peringkat teman. Karena ingin membandingkan. Inilah teror peringkat yang setiap musim penerimaan rapor terjadi di tengah-tengah terutama orang tua/wali siswa dan anak.
Yuk mulai sekarang, sekolah (yang masih memeringkat nilai) tak perlu lagi. Hapuskan peringkat nilai rapor, tes, ujian, atau yang sejenisnya. Karena menambah pekerjaan guru, tapi kurang dapat dilihat segi edukasinya, dan malah menjadi teror. Orang tua/wali siswa tidak perlu lagi menanyakan peringkat anaknya kepada guru. Biarkan anak-anak merdeka dalam belajar. Mereka diciptakan berbeda, memiliki spesifikasi masing-masing dan tentu unggul. Dan, itulah yang harus dieksplorasi sehingga anak-anak menikmati belajarnya untuk meraih  sukses. Seperti yang dikehendaki Menteri Nadiem Makarim, merdeka belajar.
Kok dalam Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 Â ada peringkat? Bahkan, laporannya, Indonesia termasuk sepuluh terbesar dari bawah. Sungguh memprihatinkan. Bukankah hal itu membuat Indonesia malu di mata dunia? Sejujurnya, menurut saya, ya malu. Tetapi, Indonesia itu kolektif, tidak pribadi. Sehingga rasa malu itu ditanggung bersama. Indonesia bisa bangkit karena ada banyak pribadi, yang dapat saling menopang.
Hal itu berbeda dengan peringkat yang dikenakan untuk anak dalam nilai rapor, yang bersifat peribadi. Anak yang berada di peringkat bawah tidak memiliki daya untuk bangkit, sebaliknya malah semakin terpuruk karena ia sendirian. Sangat jarang ada temannya yang memedulikan. Bisa-bisa malah ia dijauhi dan tidak dianggap oleh teman-temannya. Â Ya, karakternya terbunuh. Begitulah, teror peringkat dalam rapor dapat membunuh karakter anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H