Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Teror Peringkat Nilai Rapor

19 Desember 2019   08:34 Diperbarui: 19 Desember 2019   08:40 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dari: www.solopos.com

Tetapi, toh sampai sekarang peringkat selalu menjadi teror terutama bagi orang tua/wali siswa dan anak. Sangat terlihat dalam sikap mereka ketika tiba musim penerimaan rapor. Tidak dapat disembunyikan perasaan khawatir, deg-degan, dan sejenisnya ketika menjelang menerima rapor. Sebelum rapor ada di tangan mereka, selalu ada perasaan tidak nyaman.

Karena yang terpikirkan selalu peringkat. Lalu, kalau rapor sudah berada di tangan mereka yang berarti mereka sudah mengetahui peringkatnya, beralih menanyakan peringkat teman. Karena ingin membandingkan. Inilah teror peringkat yang setiap musim penerimaan rapor terjadi di tengah-tengah terutama orang tua/wali siswa dan anak.

Yuk mulai sekarang, sekolah (yang masih memeringkat nilai) tak perlu lagi. Hapuskan peringkat nilai rapor, tes, ujian, atau yang sejenisnya. Karena menambah pekerjaan guru, tapi kurang dapat dilihat segi edukasinya, dan malah menjadi teror. Orang tua/wali siswa tidak perlu lagi menanyakan peringkat anaknya kepada guru. Biarkan anak-anak merdeka dalam belajar. Mereka diciptakan berbeda, memiliki spesifikasi masing-masing dan tentu unggul. Dan, itulah yang harus dieksplorasi sehingga anak-anak menikmati belajarnya untuk meraih  sukses. Seperti yang dikehendaki Menteri Nadiem Makarim, merdeka belajar.

Kok dalam Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018  ada peringkat? Bahkan, laporannya, Indonesia termasuk sepuluh terbesar dari bawah. Sungguh memprihatinkan. Bukankah hal itu membuat Indonesia malu di mata dunia? Sejujurnya, menurut saya, ya malu. Tetapi, Indonesia itu kolektif, tidak pribadi. Sehingga rasa malu itu ditanggung bersama. Indonesia bisa bangkit karena ada banyak pribadi, yang dapat saling menopang.

Hal itu berbeda dengan peringkat yang dikenakan untuk anak dalam nilai rapor, yang bersifat peribadi. Anak yang berada di peringkat bawah tidak memiliki daya untuk bangkit, sebaliknya malah semakin terpuruk karena ia sendirian. Sangat jarang ada temannya yang memedulikan. Bisa-bisa malah ia dijauhi dan tidak dianggap oleh teman-temannya.  Ya, karakternya terbunuh. Begitulah, teror peringkat dalam rapor dapat membunuh karakter anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun