Saya prihatin lalu berlanjut sedih. Sebagai guru, saya merasakan anak-anak didik saya banyak yang kehilangan "perasaan". Tidak hanya tak peduli terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Sebab, sebagian dari mereka malas, tidak mau bekerja keras, tidak berani menghadapi tantangan alias mudah putus asa, dan ingin yang mudah-mudah saja yang penting bisa sukses sehingga jalan pintas dipilihnya.
Tentu semua guru, termasuk saya, tidak membiarkan fenomena itu. Mencari dan menerapkan solusi yang kami duga mampu mengembalikan anak-anak pada keadaan yang seharusnya, yaitu memiliki hasrat untuk belajar.
Tapi, tidak mudah ternyata. Sebab, sekalipun sudah ada tindakan, anak-anak belum berubah. Ya, Â boleh jadi ini karena keterbatasan kami, yang belum menemukan dan menerapkan solusi yang efektif.
Sebenarnya guru (sekolah) sudah mendapat modal dari pemerintah terkait dengan pembentukan sikap atau karakter anak-anak. Dalam Kurikulum 2013, misalnya, di mata pelajaran (mapel) Pendidikan Agama dilengkapi dengan "budi pekerti". Jadi, mapel tersebut akhirnya berubah menjadi Mapel Pendidikan Agama dan Budi Pekerti.
Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah menyadari kalau anak-anak pada zaman sekarang lemah dalam karakter, yang sangat melekat pada sikap, perilaku, dan moral. Tentu dengan diterapkannya Mapel Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, pemerintah berharap karakter anak-anak yang lemah dapat dikuatkan.
Selain itu, (saya yakin) karena pemerintah melihat betapa urgennya pembangunan karakter anak-anak, maka dikembangkan pula pendekatan yang bernama Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Setidaknya ada lima karakter dasar yang diunggulkan, yaitu religius, nasionalis, integritas, mandiri, dan gotong royong. Jadi, melalui PPK, anak-anak diharapkan menjadi pribadi yang religius, nasionalis, berintegritas, mandiri, dan gotong royong.
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti dalam Kurikulum 2013 dan PPK sudah berlaku di sekolah-sekolah. Tapi, sejauh ini belum tampak hasilnya. Anak-anak seperti belum tersentuh kedua program pemerintah tersebut. Sebab, kita masih menjumpai banyak anak terpelajar -untuk menyebut anak-anak sekolah- yang belum berubah sikap. Mereka masih tak peduli terhadap lingkungan. Juga terhadap dirinya sendiri.
Memang kita harus mengakui bahwa untuk mengubah sikap buruk menjadi baik tidak seperti membalik telapak tangan. Dalam waktu singkat berubah. Prosesnya tentu panjang. Tidak hanya satu-dua-tiga tahun. Barangkali sepuluh tahun ke atas dampaknya baru kelihatan.
Itu pun kalau pelaksanaan program berjalan konsisten. Dari awal pencanangan hingga dalam waktu-waktu kelangsungannya tak mengalami penurunan kualitas pelaksanaan. Tetap berlangsung stabil, bahkan kalau dipandang perlu diadakan penaikan kualitas pelaksanaan. Dengan demikian, dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, baik dari sisi proses maupun hasil.
Hanya, yang sering terjadi dalam budaya kita adalah inkonsisten. Saat-saat permulaan berlangsung dengan penuh semangat. Lalu, dalam proses kelanjutannya, semangat itu mulai berkurang. Dan, bukan mustahil lama-kelamaan semangat itu akhirnya menghilang bak ditelan bumi.
Tentu saja kita (masih) memiliki harapan besar melalui Pendidikan Agama dan Budi Pekerti serta PPK, karakter anak-anak kita, generasi penerus pembangunan bangsa ini, mengalami peningkatan. Dari waktu ke waktu perubahan menuju ke karakter positif dapat kita lihat dan rasakan.
Meskipun kita menyadari bahwa tantangannya begitu besar. Pengaruh-pengaruh buruk terhadap  anak-anak berasal dari mana pun. Tidak hanya berasal dari lingkungan hidup mereka sehari-hari, baik dari keluarga, masyarakat, maupun pergaulan. Tapi, dapat juga berasal dari berbagai media, baik media massa maupun media sosial, yang sekarang tidak asing bagi mereka.
Dan, jangan-jangan sulit ditemukannya perubahan sikap positif dalam diri anak-anak hingga saat ini karena tantangan yang ada memiliki pengaruh yang lebih kuat ketimbang penetrasi nilai-nilai kehidupan melalui Pendidikan Agama dan Budi Pekerti serta PPK. Dalam bahasa yang sederhana, Pendidikan Agama dan Budi Pekerti serta PPK yang sudah diberlakukan di sekolah-sekolah tidak mujarab sebagai "obat".
Oleh karena itu, saya, mungkin juga banyak orang, tidak hanya yang seprofesi dengan saya, berharap banyak terhadap pemerintahan baru Jokowi-Ma'ruf Amin, betul-betul memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia (SDM) seperti salah satu poin dalam pidato Presiden Jokowi saat pelantikan, 20 Oktober 2019, di hadapan anggota Musyawarah Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Gedung MPRRI.
Tentu dalam konteks ini tidak hanya pembangunan SDM dalam aspek pengetahuan dan keterampilan, tapi juga aspek sikap. Bahkan, aspek sikap ini yang harus menjadi prioritas pertama. Sebab, fakta menunjukkan bahwa betapa buruknya sikap atau karakter SDM kita. Tidak hanya dapat kita jumpai di level rakyat, tapi juga di level pejabat. Tidak perlu ditunjukkan buktinya. Sebab, kita (sendiri) sudah mengetahuinya secara terang benderang.
Sebagai guru, saya kadang berpikir bahwa beratnya tugas guru mendidik anak-anak tidak terletak pada transfer pengetahuan dan keterampilan, tapi menanamkan nilai-nilai kehidupan yang dapat membangun karakter mereka.
Masih adanya anak-anak sekolah yang suka tawuran, menenggak minum-minuman keras, merokok (bahkan akhir-akhir ini merokok elektrik), menggunakan narkoba, membegal, mencuri, seks bebas, menyebar hoaks, termasuk yang mungkin dianggap sepele, misalnya menyontek, terlambat mengumpulkan tugas, tidak mau mengerjakan tugas piket kelas, dan perilaku buruk lainnya, menunjukkan bahwa pendidikan (baca: guru) gagal menjalankan tugas mulianya.
Ya, guru memang terbatas kemampuannya. Tidak hanya terbatas waktu mendampingi anak-anak, tapi juga terbatas tenaganya, pikirannya, dan emosinya. Sementara ada "guru" lain yang kemampuannya tak terbatas menyertai anak-anak, yang sangat eksis keberadaannya, bahkan menembus dimensi  ruang dan waktu. Anak-anak dapat terus mengikutinya, di mana dan kapan pun. Hingga kita tak memiliki kemampuan untuk mengontrolnya.
Guru itu adalah berbagai informasi yang dapat diakses lewat media massa dan media sosial, atau media-media lain, bahkan kejadian-kejadian nyata yang boleh jadi dijumpai secara langsung  oleh anak-anak di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Ya, semua itu dapat menjadi guru yang barangkali lebih kuat pengaruhnya terhadap tumbuh kembang anak.
Kalau informasi-informasi atau kejadian-kejadian itu positif tidak menjadi masalah. Justru dapat memberi dampak positif terhadap anak-anak dalam kelangsungan hidupnya. Tapi, kalau informasi-informasi atau kejadian-kejadian itu buruk, tentu menjadi masalah terhadap perkembangan hidup anak-anak.
Repotnya, budaya yang berkembang di masyarakat kita adalah informasi-informasi atau kejadian-kejadian buruk yang justru mudah memengaruhi orang. Pun demikian tentu pada diri anak-anak. Apalagi mereka masih belum memiliki prinsip yang teguh sehingga sangat mudah dipengaruhi hal-hal buruk yang lazimnya lebih menyenangkan ketimbang hal-hal baik.
Semoga pemerintahan baru Jokowi-Ma'ruf Amin, khususnya  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud),  memberi pertolongan sehingga tugas guru dalam membangun moral-mental anak-anak didik dampaknya dapat dilihat dan rasakan. Kebijakan-kebijakan baru yang menyentuh pembangunan karakter anak-anak, sebagai SDM, tidak sebatas konsep-konsep yang sulit diterapkan, tapi mudah dan efektif dilakukan sekaligus menghasilkan.
Syukur-syukur keluarga dan masyarakat berperan juga dalam karya besar untuk membangun generasi muda ini. Karenanya, kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pembangunan karakter masyarakat dari menteri terkait sungguh dinanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H