Sekarang sudah banyak orang asing yang belajar bahasa Indonesia. Tidak hanya mereka belajar di Indonesia. Yaitu, sengaja datang ke Indonesia dan mengikuti pendidikan bahasa Indonesia. Tapi, di beberapa negara sudah didirikan pendidikan bahasa Indonesia, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.Â
Mereka yang belajar adalah warga negara bersangkutan. Ini sebetulnya fenomena yang menarik. Sebab, bahasa Indonesia akhirnya dimengerti oleh banyak orang asing. Jadi, penutur bahasa Indonesia semakin meluas, melintas hingga ke luar negeri. Hal ini pasti memudahkan penetrasi bahasa Indonesia ke tingkat internasional.
Fenomena tersebut (jelas) terlepas dari Perpres 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Yang di Bab II, Pasal 5, diwajibkan bagi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara (Indonesia) menggunakan bahasa Indonesia saat berpidato resmi, baik di dalam maupun luar negeri. Tapi, setidaknya memiliki kesamaan, yaitu bahasa Indonesia pada akhirnya dimengerti banyak orang asing.
Bukan mustahil mereka akhirnya tertarik dengan bahasa Indonesia. Lalu, mempelajarinya, baik secara formal maupun non formal. Dalam bidang lain sudah banyak terjadi. Banyak orang asing yang sudah mahir dalam kerawitan, misalnya.
Bukan mustahil, entah kapan, mereka lebih menguasai bahasa Indonesia ketimbang kita, kalau mereka secara intens mempelajarinya. Seperti halnya bahasa Jawa yang kini justru pakarnya lahir dari luar negeri. Sementara orang Jawa (sendiri) tidak menguasai bahasa Jawa. Mau tak mau akhirnya berguru kepada penutur asing yang menjadi ahli.
Tentu sebagai warga negara Indonesia, kita tak ingin berguru kepada penutur asing, kelak, karena mereka lebih ahli ketimbang kita. Penutur-penutur asing yang sudah "jatuh cinta" pada bahasa Indonesia tentu tak mau belajar sekadarnya. Mereka pasti belajar sungguh-sungguh, mendalami hingga sedetail-detailnya. Ibaratnya hingga ke urat-akar bahasa Indonesia.
Naluri buruk kita adalah kalau kita merasa sudah bisa, umumnya tidak mau berusaha lagi. Cukup memanfaatkan yang sudah ada meski sadar dalam keterbatasan. Padahal, seharusnya berpacu belajar karena "sesuatu" itu pasti berkembang dari waktu ke waktu. Tidak mengikuti perkembangan, tentu ketinggalan dengan orang-orang lain meskipun mereka bukan sang pemilik, tapi mau belajar tanpa henti.
Sebenarnya memulainya mudah dan sederhana. Mulailah menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kalau selama ini menggunakan kata yang salah, berubahlah menggunakan kata yang benar. Misalnya, kalau sudah mengetahui kata "nasihat" itu benar, gunakanlah kata itu dan tinggalkanlah kata "nasehat". Kebiasaan menggunakan kata yang benar dalam setiap kesempatan sangat menolong kita menguasai seluk-beluk bahasa Indonesia.
Berikutnya, tidak perlu malu menggunakan kata-kata yang benar meski berada di antara banyak orang yang sudah terbiasa menggunakan kata-kata yang salah, yang karena kebiasaan itu menjadi salah kaprah yang akhirnya menganggapnya benar.Â
Kalau merasa malu karena berbeda, niscaya memperjuangkan kata-kata yang benar itu akan gagal. Dan, selama-lamanya kesalahan terus terjadi. Kalau mengetahui ada kesalahan dan malah mengikutinya karena pertimbangan tidak mau berbeda, kita "berdosa" alias tidak mencintai bahasa Indonesia.