Mohon tunggu...
Pak Dhe  Gondo
Pak Dhe Gondo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Batik Telah Membuatku Tersesat di Pusaran Tak Berujung

22 Desember 2017   23:52 Diperbarui: 23 Desember 2017   00:26 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namaku Sugondo. Nama lengkapku, Suyono Wardani Sugondo. Teman-teman biasa memanggilku Pak Dhe Gondo. Entah karena rambutku yang sudah beruban, atau karena tampilanku yang ndeso, sehingga hampir 99 persen teman-temanku memanggilku Pak Dhe Gondo.

Bukan soal nama panggilan yang keren yang ingin aku tuliskan untuk kompasiana.com. Tetapi soal kenapa aku akhirnya meninggalkan dunia "gemerlap" sebagai jurnalis televisi, yang konon banyak digandrungi anak-anak muda.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Sejak masih duduk di bangku SMA, aku memang telah memimpikan sebuah presi yang keren, yaitu jurnalis, atau wartawan. Maka saat aku masuk perguruan tinggi ( Fakultas Sastra UNDIP Semarang ) keinginanaku untuk menulis, melakukan liputan, dan menulis laporan perjalanan, sungguh tak terbendung.

Dan, sebelum aku lulus kuliah, aku sudah bekerja sebagai wartawan, mulai dari wartawan ekonomi yang bergulat dengan angka-angka, fluktuai rupiah, harga saham, hingga wartawan kebudayaan yang terus bergumul dengan pentas musik, pentas puisi, atau sekedar prosesi ritual merti deso. Tapi semua itu ku jalani dengan gembira.

Tahun 1996, aku tergiur oleh "orde teve" saat banyak televisi swasta bermunculan. Aku bayangkan, betapa indahnya, jika aku bisa menjadi jurnalis televisi. Alhamdulillah, dengan tertatik-tatih, impian jadi kenyataan. Aku bergabung dengan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), lalu ke,mudian RCTI, dan sejak tahun 2003 aku menjadi kontributor Metro TV. Sebuah impian yang maha agung, yang pernah membuatku gelisah, tak bisa tidur. Mimpi menjadi jurnalis televisi berita.

14 tahun sudah, aku menjalani profesi sebagai pemburu berita untuk Metro TV. Dan pada akhirnya, pertengahan tahun 2017 lalu, aku memutuskan untuk berhenti menjadi jurnalis televisi, dan memilih menjadi tukang batik. Sebuah pilihan yang dianggap "gila" oleh banyak orang, karena membatik adalah sebuah pekerjaan yang ecek-ecek, jauh dari gengsi.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Kenapa ? Hatiku begitu kuat tertambat pada dunia batik, sejak tahun 2009 lalu. Ketika aku melakukan tugas liputan kunjungan Ibu Mufida Juyus Kalla di sebuah desa miskin di Desa Gulurejo, Kecamatan Lendah, kabupaten Kulonp[rogo, Yogyakarta, aku melihat puluhan, bahkan ratusan orang tiap pagi subuh berangkat kerja sebagai buruh batik ke kota Yogyakarta, dengan naik sepeda onthel.

Naik turun bukit, naik sepeda, sejauh lebih dari 40 kilometer, untuk menjadi buruh batik, yang penghasilannya kurang dari 25 ribu rupiah sehari. Bahkan banyak yang melakoni pekerjaan itu lebih dari 30 tahun. Meski ada juga yang baru lima atau 10 tahun, nglajo bersepeda onthel, setiap hari hari tanpa libur, sebagai buruh batik.

Sebagai, orang yang lahir dan besar di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, aku menitikkan air mata, melihat pemandangan itu. Maka aku sungguh bersemangat, untuk kembali ke desa itu, dan rasanya ingin menyulap para buruh batik itu menjadi juragan di rumah sendiri. Agar hidup mereka menjadi semakin baik.

Tahun 2009, niatku sangat kuat untuk membangun sentra batik di Desa Gulurejo, Lendah, Kulonprogo, Yogyakarta. Tuhan, memberi jalan. Banyak buruh-buruh batik muda tertarik dengan ide ku, bahwa mereka harus menjadi juragan di rumah sendiri, mereka harus mulai menjadi produsen di rumah sendiri, dan mereka harus membangun desa itu menjadi sentra industri kerajinan batik.

Lalu dengan ala kadarnya, berdirilah 14 produsen baru batik di desa Gulurejo, Lendah, Kulonprogo. Senyampang dengan itu, berdirilah Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Kulonprogo, dan aku mati-matian meminta agar Pemerintah Daerah Kulonprogo, memproteksi hasil produksi para perajin pemula itu dengan sebuah legalitas. Hasilnya, Pemda Kulonprogo, mengeluarkan surat edaran wajib berpakaian batik tiap Jumat -- Sabtu dan harus membeli batik dari perajin lokal. Alhamdulillah.

Aku terus bermimpi, membangun sentra batik yang lebih besar, lebih populer, lebih menasional, dengan segala dayaku. Dengan sedikit tipu daya dan diplomasi ala kadarnya, tahun 2012, Pemda Kulonprogo mengeluarkan Surat Keputusan Wajib Batik bagi anak-anak sekolah, bagi pegawai negeri sipil, pegawai swasta di lingkungan Kulonprogo, dan seluruh jajaran aparat Pemerintah Desa, Ormas, dan Organisasi Sosial, lainnya.

Ini puncak dari perjuanganku. Tuhan memberi jawaban atas doaku. Kulonprogo memiliki sentra industri batik besar nan terkenal, yakni Sentra Batik Lendah. Dan hasilnya, banyak mantan buruh batik yang semula harus nglajo, bersepeda onthel ke Kota Yogyakarta, untuk mengais sepuluh dua puluh ribu per hari, kini menjadi jutawan. Bahkan menjadi miliader. Memiliki galery batik megah, memiliki rumah mewah, dan tidak lagi harus naik sepeda onthel, karena sudah banyak yang mampu membeli mobil baru.

Anti klimak?

Tidak. Mimpiku bukan itu. Mimpiku aku bisa membuat gebrakan-gebrakan baru di dunia sandang, yang berbasis batik.

Maka setelah 7 tahun mendampingi para mantan buruh batik menjadi pengusaha batik, aku tinggalkan mereka dan kembali pulang ke rumah. Dengan segala kegalauan. Karena setelah kaya, para mantan buruh batik itu tidak lagi kreatif, dan ogah membuat gebrakan-gebrakan baru yang lebih "gila".

Karena lelah dimakan usia, penyakit mulai sering hinggap di badan, dan anak-anakku sudah terlihat dewasa. Maka aku putuskan, aku berhenti menjadi pemburu berita, karena tidak kuat lagi untuk hidup di atas roda motor sepanjang hari keliling karesidenan, keliling kabupaten, keliling keliling sudut wilayah memenuhi perintah atasan di Jakarta sana.

Aku putuskan berhenti bekerja sebagai jurnalis, dan aku memulai sebuah usaha, membangun sebuah cita-cita, menggebrak dunia sandang Tanah Air, membuat warna baru dunia batik. Yakni membuat batik abstrak, atau batik lukis tanpa pola. Produksi batik yang tidak harus menganut pakem batik jadul, tidak harus tunduk pada aturan perbatikan. Melainkan produksi batik sak karepe dewe ( sekehendak hati, red ) karena dibuat dengan seutuhnya rasa seni lukis, sehingga menghasilkan sebuah karya batik bernama batik lukis abstrak.

Banyak pengamat bilang, batik abstrak adalah batik ngawur, batik yang lepas dari silsilah batik, tidak memiliki ruh, dan dianggap sebagai batik gila. Ya, batik ini saya buat dengan cara yang gila. Batik aneh, ya memang batik ini saya produksi dengan cara yang aneh, tidak lazim. Tetapi batik lukis abstrak (  jujur )  banyak orang  memujanya sebagai karya yang indah.

Maka aku akan terus bertahan di sini, di rumahku sendiri, di dunia batik abstrak, batik lukis, dan ini bukan produksi pabrikan atau printing, karena batik lukis abstrak aku kerjakan dengan kedua tanganku, dan 100 persen karya tangan, atau hand made asli...

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Salam, dari jauh Pak Dhe Gondo ( 085647486155 )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun