Namaku Sugondo. Nama lengkapku, Suyono Wardani Sugondo. Teman-teman biasa memanggilku Pak Dhe Gondo. Entah karena rambutku yang sudah beruban, atau karena tampilanku yang ndeso, sehingga hampir 99 persen teman-temanku memanggilku Pak Dhe Gondo.
Bukan soal nama panggilan yang keren yang ingin aku tuliskan untuk kompasiana.com. Tetapi soal kenapa aku akhirnya meninggalkan dunia "gemerlap" sebagai jurnalis televisi, yang konon banyak digandrungi anak-anak muda.
Dan, sebelum aku lulus kuliah, aku sudah bekerja sebagai wartawan, mulai dari wartawan ekonomi yang bergulat dengan angka-angka, fluktuai rupiah, harga saham, hingga wartawan kebudayaan yang terus bergumul dengan pentas musik, pentas puisi, atau sekedar prosesi ritual merti deso. Tapi semua itu ku jalani dengan gembira.
Tahun 1996, aku tergiur oleh "orde teve" saat banyak televisi swasta bermunculan. Aku bayangkan, betapa indahnya, jika aku bisa menjadi jurnalis televisi. Alhamdulillah, dengan tertatik-tatih, impian jadi kenyataan. Aku bergabung dengan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), lalu ke,mudian RCTI, dan sejak tahun 2003 aku menjadi kontributor Metro TV. Sebuah impian yang maha agung, yang pernah membuatku gelisah, tak bisa tidur. Mimpi menjadi jurnalis televisi berita.
14 tahun sudah, aku menjalani profesi sebagai pemburu berita untuk Metro TV. Dan pada akhirnya, pertengahan tahun 2017 lalu, aku memutuskan untuk berhenti menjadi jurnalis televisi, dan memilih menjadi tukang batik. Sebuah pilihan yang dianggap "gila" oleh banyak orang, karena membatik adalah sebuah pekerjaan yang ecek-ecek, jauh dari gengsi.
Naik turun bukit, naik sepeda, sejauh lebih dari 40 kilometer, untuk menjadi buruh batik, yang penghasilannya kurang dari 25 ribu rupiah sehari. Bahkan banyak yang melakoni pekerjaan itu lebih dari 30 tahun. Meski ada juga yang baru lima atau 10 tahun, nglajo bersepeda onthel, setiap hari hari tanpa libur, sebagai buruh batik.
Sebagai, orang yang lahir dan besar di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, aku menitikkan air mata, melihat pemandangan itu. Maka aku sungguh bersemangat, untuk kembali ke desa itu, dan rasanya ingin menyulap para buruh batik itu menjadi juragan di rumah sendiri. Agar hidup mereka menjadi semakin baik.
Tahun 2009, niatku sangat kuat untuk membangun sentra batik di Desa Gulurejo, Lendah, Kulonprogo, Yogyakarta. Tuhan, memberi jalan. Banyak buruh-buruh batik muda tertarik dengan ide ku, bahwa mereka harus menjadi juragan di rumah sendiri, mereka harus mulai menjadi produsen di rumah sendiri, dan mereka harus membangun desa itu menjadi sentra industri kerajinan batik.
Lalu dengan ala kadarnya, berdirilah 14 produsen baru batik di desa Gulurejo, Lendah, Kulonprogo. Senyampang dengan itu, berdirilah Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Kulonprogo, dan aku mati-matian meminta agar Pemerintah Daerah Kulonprogo, memproteksi hasil produksi para perajin pemula itu dengan sebuah legalitas. Hasilnya, Pemda Kulonprogo, mengeluarkan surat edaran wajib berpakaian batik tiap Jumat -- Sabtu dan harus membeli batik dari perajin lokal. Alhamdulillah.
Aku terus bermimpi, membangun sentra batik yang lebih besar, lebih populer, lebih menasional, dengan segala dayaku. Dengan sedikit tipu daya dan diplomasi ala kadarnya, tahun 2012, Pemda Kulonprogo mengeluarkan Surat Keputusan Wajib Batik bagi anak-anak sekolah, bagi pegawai negeri sipil, pegawai swasta di lingkungan Kulonprogo, dan seluruh jajaran aparat Pemerintah Desa, Ormas, dan Organisasi Sosial, lainnya.