Ini fakta mengejutkan. Di sebuah sekolah PAUD, di kawasan pantai selatan Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta, yang berjarah lebih dari 45 kilometer dari Kota Yogyakarta ( pusat kebudayaan Jawa ) tepatnya di Dusun Banaran, Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo, 10 terakhir, tidak lagi ditemukan nama-nama peserta didik yang beridiom Jawa.
Nama-nama mereka, didominasi kecenderungan ke-arab-arab-an, ke-barat barat-an, menggunakan dari bahasa sansekerta, dan yang lucu beberapa menjiplak nama-nama artis India.
Bahkan tahun ini, nama-nama siswa kelompok bermain yang berada di tengah --tengah kampung kumuh itu, sangat asing di telinga dan susah dilafalkan, apalagi oleh lidah orang Jawa.
Seperti nama Dhirgham Haidar Irhab, terlahir 6 Mei 2015, anak dari orang tua bernama Anjar Kiswanto. Tentu nama ini susah betul lafadnya, dan yang lebih aneh setelah saya browsing di internet, kira-kira arti Dhirgham Haidar Irhab adalah "bijak berani singa". Jika pemberian nama mengandung maksud baik, atau doa terbaik untuk anak, maka saya menjadi bertanya-tanya, apa sebenarnya doa orang tua Dhirgham Haidar Irhab.
Tetapi bukan soal apa makna sebuah nama, yang menjadi perhatian saya. Melainkan, kenapa warga di desa yang jauh dari perkotaan, jauh dari hiruk pikuk budaya metropolis ini, begitu demam dengan nama-nama asing yang pasti mereka sebenarnya tidak mengerti benar apa artinya, apa maknanya, dan berasal dari kebudayaan apa.
Seperti, warga muslim, memberi nama pada anak perempuannya benedekta, atau philipus pada nama anak laki-lakinya. Aneh kan? Saya yakin nama itu diberikan oleh orang tua yang tidak paham tentang agama Katholik, tradisi babptis, dan pemberian nama baptis. Atau mari kita mencermati nama ini : Â Azzahwa Deffanie, lahir 23 Maret 2014, anak dari Ibu Devina.
Membaca beberapa literatur, maka Azzahwa berarti perempuan, Deffanie kalo berasal dari kata Dephani maka berarti jujur, pintar lucu, tetapi Dephanie juga berarti menang. Apa yang dipikirkan orang tua Azzahwa Deffanie? Ingin anak perempuannya kelak menjadi perempuan pemenang atau perempuan jujur, atau perempuan riang nan cerdas? Atau sebenarnya hanya ingin sekedar memilih nama yang penting tidak berbau Jawa?
Karena jika alasan itu yang sedang berkecamuk di benak para orang tua ( pasangan muda ) di kampung tersebut, saya merasakan ada erosi kebudayaan Jawa yang sangat kuat, sedang melanda masyarakat di perkampungan-perkampungan Jawa, saat ini. Padahal mestinya, warga kampung-kampung Jawa inilah para pelestari kebudayaan Jawa, Â termasuk budaya pemberian nama yang kental dengan idiom Jawa.
Saya maklum, jika di zaman naw, nama-nama beridiom Jawa, sungguh membuat tidak percaya diri. Di pergaulan yang outword looking. Tetapi pemikiran tersebut tentu adalah sebuah virus "berbahaya" bagi kelangsungan sebuah sebuah kebudayaan. Sampai sampai seluruh nama anak saja anti idiom Jawa.
Fakta mengejutkan berikutnya, adalah manak-anak di sekolah PAUD tersebut, rata-rata tidak bisa berbahasa Jawa. Mereka lebih fasih menggunakan Bahasa Indonesia, untuk berkomunikasi baik dengan orang tua maupun guru. Orang tua mereka kepada anak-anaknya juga sangat fasih berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia, ketimbang Bahasa Jawa.
Para tenaga pendidik, juga tidak memberi pembelajaran dalam Bahasa Jawa. Jika ini dimaksudkan untuk memperlancar komunikasi pengajaran tentu baik baik saja. Namun jika di semua sisi kehidupan mereka menggunakan Bahasa Indonesia, saya merasa tertusuk batin saya, karena hal itu akan menyempurnakan hilangnya tradisi berkomunikasi Jawa.
Dan yang pasti, mereka tidak akan paham tentang etika pergaulan Jawa, susah memahami adab Jawa, dan berbagai wulangan ( atau pengetahuan ) tentang budaya Jawa.
Karena pengajar dan siswanya, tidak pernah beridiom Jawa, baik cara komunikasinya, adat istiadatnya, maupun perikehidupan sehari-hariinya. Karena sekilas saya mendengar, anak-anak memanggil ibu mereka dengan kata : mama, bukan emak atau ibu, atau simbok.
Sementara, setelah saya baca lebih detail, ternyata para orang tua siswa sekolah PAUD ndeso itu, pada kolom pekerjaan orang tua, rata-rata petani, buruh swasta. Artinya mereka berada pada keluarga yang sebenarnya masih berada di bumi Jawa. Bagian dari Bumi Nusantara.
Dengan tidak sadar saya membuat kesimpulan : Â berarti dari sinilah sebenarnya titik awal hilangnya budaya Jawa dari bumi Jawa.
 Karena anak-anak yang selama lebih dari 2 tahun berada di sekolah atau kelompok bermain dengan adab adab yang tidak jelas ini, pasti juga akan mempengaruhi pola berfikir dan cara bertindak tidak jelas, artinya tidak paham akan adab dan budaya Jawa. Dari pola berfikir warga ( pasangan pasangan muda ) yang mulai kacau ke-Jawa-annya, kemudian diturunkan kepada generasi berikutnya ( anak-anak mereka ) menjadi pembelajaran anti Jawa, maka akan dihasilkan sebuah generasi yang tidak jelas dari mana asalnya. Dan tidak punya kerangka budaya dalam diri mereka.
Salam Pak Dhe Gondo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H