Kenapa tanggal 2 OKtober dijadikan hari batik nasional? Karena batik dianggap sebagai budaya adicipta warisan nenek moyang dan secara turun temurun dilestarikan, karena keagungannya.Â
Jika semula batik menjadi identitas fashion kraton, tentu karena di zamannya, hanya kalangan kraton seperti Kasultanan Mataram Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, yang mampu membeli produk kain batik adiluhung. Rakyat kevbanyakan sungguh tidak mungkin di zaman kerajaan mampu membeli kain batik adiluhung yang harganya, bisa setara dengan harga seekor kerbau.Â
Mana mungkin, rakyat kebanykan menjual seekor kerbau hanya untuk membeli selembar kain batik adiluhung, apalagi dengan motif yang dianggap bertuah, seperti Batik Sekar Jagad, Wahyu Tumurun atau Batik Parang Rusak.Â
Seiring perkembangan zaman, batik kemudian merambat ke pasaran umum, setelah rahasia pembuatan batik diketahui oleh sejumlah empu batik di Jawa. Dengan teknik produksi batik yang tidak perlu rumit, dengan pewarnaan yang tidak harus tajam kuat dan megah, maka motif batik yang dianggap keramat pun kemudian diproduksi dengan metode yang sederhana yakni model kelengan.
Batik kelengan, atau batik dua warga, coklat soga - putih, merah hati - putih, maka batik pun banyak di pakai oleh rakyat kebanyakan, karena teknik produksinya sudah sedikit maju, sehingga batik harganya terjangkau rakyat kebanykan. Ini terjadi sejak tahun 1945 an- hingga tahun 1970, bahkan sekarang produksi batik kelengan untuk jarit ( bawahan perempuan desa ) atau selendang, masih sering di jumpai di pasar - pasar rakyat.
Di era ini ibaratnya, jual ayam dua ekor bisa beli selembar kain batik. Meski kain batik yang dibeli hanya terbatas untuk selendang, sarung, atau tapeh.Â
Ini era, boom batik, sebagai produk sandang nasional, meski masih terbatas pada pewarnaan sederhana, dan hanya cocok untuk kalangan tua. Kalangan pejabat, kalangan pegawai, untuk kepentingan-kepentingan seremonial. Hingga, batik dicemooh oleh kawula muda, kurang menarik perhatiannya. Dan batik tidak dianggap sebagai bagian dari kebudayaan mereka ( anak muda ).
Boom batik itu hanya meledak di titik titik tertentu. Tidak disemua lini kehidupan, dan tidak menjadi kebanggan semua kalangan. Dan batik masih dianggap norak untuk kehidupan sehari-hari, tampil di jalanan, atau nongkrong, dsb.
Hingga akhirnya, sejumlah sentra batik di Nusantara memulai gebrakan, dengan batik berwarna, bukan saja warga sogan ( coklat tua coklat kehitaman ), tetapi mulai dengan warna biru, ungu, hitam, merah, kuning, hijau, karena mulai diproduksinya pewarna kain terutama batik, jenis naptol, remasol, indigosol.Â
Inilah langkah yang secara nyata membumikan batik adiluhung, menjadi benar-benar budaya Nusantara. Karena di era ini batik menjadi bagian kehidupan tua muda, atas-bawah, santai - resmi, pelajar - pejabat, petani-pangrehprojo, semuanya dengan mudah memperoleh batik karena harganya terjangkau. Bahkan ada batik murah, yang biasa dikenal dengan batik picisan atau batik printing. Hasil rekayasa produksi motif batik dengan teknik sablon.
Namun harus diakui inilah era, membumikan batik ke dalam sendi kehidupan bangsa Indonesia. Â Batik tidak lagi menjadi barang sakral, karena motifnya yang dianggap memiliki makna, bertuah, dan sebagainya. Di era ini batik membumi, tetapi sekaligus hancur mitos kesakralannya.
Apakah ini merisaukan? Tidak. Sekali lagi tidak. Batik itu karya seni. Seni itu indah, dan berkembang sesuai dengan selera zaman. Seniman dari masa ke masa, dari zaman ke zaman tentu berubah, berkembang, berimprovisasi. Nah, setelah berhasil dibumikan, dan dihancurkan kesakralannya, maka kini saat batik di-duniakan.Â
Dengan cara apa? Dengan cara dirusak, dihancurin, dan dibentuk kembali menjadi sebuah kompilasi potongan-potongan batik yang memiliki nilai art sangat tinggi. Inilah yang kemudian disebut sebagai batik abstrak. Batik lukis, batik kontemporer. Yang tidak harus berfikir motifnya apa, motifnya punya induk atau tidak? Itu semua tidak penting.
Batik yang mendunia, batik yang seluruhnya dilihat dari sudut pandang batik sebagai seni. Tanpa dibatasi ruang dan waktu, tanpa dibatasi oleh tata nilai kuno yang kini sudah tidak dimengerti lagi apa artinya.
Dan di era selepas tahun 70-an, hanya beberapa gelintir seniman yang berani menggelorakan batik abstrak sebagai produk khas batik Indonesia. Kita mencatat Pelukis Amri Yahya, Yogyakarta, telah menorehkan keberaniannya untuk membangun pemahaman baru tentang batik, dengan karyanya batik abstrak.
Hormat saya untuk Bung Undin ( Alm ) yang telah meninggal di Madukismo Bantul Yogyakarta, Gito Ciblek ( buruh batik Lendah Kulonprogo Yogyakarta ) yang terus menggelorakan batik abstrak untuk kebutuhan sandang nasional dan dunia.Â
Dan dengan segala kekuatan saya mohon doa, agar tetap bisa memproduksi batik abstrak, dengan motto satu kain satu motif, satu pemakai, tiada duanya di dunia. Karena saya berfikir, batik itu proses pembuatannya bukan motifnya, batik itu seninya bukan coraknya, batik itu indah untuk siapa saja, dan batik itu memberi wibawa pemakainya. Tidak harus seragam corak dan warnanya, untuk seluruh Indonesia. Batik itu indah manakala, digarap dengan penuh imajinasi dan naluri seni, batik itu memberi wibawa pemakainya mana kala tidak pernah ada kembarannya, batik itu seni banget ketika dikerjalkan dengan tangan tangan yang memiliki kepedulian terhadap pemakai, lingkungan dan selera zaman.
Selamat hari batik 2017
salam Pak Dhe Gondo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H