Mohon tunggu...
Pak Dhe  Gondo
Pak Dhe Gondo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demi Buruh Batik, Aku Rela Menyemir Sepatu Bupati

27 September 2017   22:38 Diperbarui: 28 September 2017   17:26 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari masih pagi, pada pertengahan tahun 2008 lalu, dalam sebuah acara kunjungan pejabat tinggi negara ke Desa Gulurejo, Kecamatan Lendah, kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, saya menjumpai pemadangan yang menggelitik.

Banyak para perempuan tua, dan sejumlah lelaki muda mengayuh sepeda melintasi jalan raya menuju ke kota Yogyakarta. Tanya kanan kiri, ternyata mereka adalah buruh batik di sejumlah perusahaan batik ternama.

Mereka sudah puluhan tahun melakoni pekerjaan ini. Sebagai butuh batik. Bahkan ada yang telah bekerja sebagai buruh batik sejak tahun 1970-an. Wauuu...

Dan yang menakjubkan, di Desa Gulurejo, Kecamatan Lendah Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, secara turun temurun mereka banyak yang menjadi buruh batik di Kota Yogyakarta, bahkan sejak zaman kerajaan.

Otak saya pun berputar, saya ingin menghadang mereka, sudah saatnya mereka berhenti menjadi buruh batik di kota. Mereka harus menjadi juragang di rumahnya sendiri. Dan mereka harus menjadi pelopor industri kerajinan batik di Kabupaten Kulonprogo, yang terkenal paling miskin di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Saya benar-benar nekad. Suatu pagi saya menghadang mereka di tengah jalan, dan saya ungkapkan niat saya tersebut, yakni ingin menjadikan mereka juragan di desanya sendiri. Apa jawaban mereka? " khayal, mbok rasah ngayal mas...( gak usah mimpi mas,red)," katanya.

Tetapi niat saya sudah bulat, saya bermimpi ingin menjadikan desa ini menjadi pelopor bangkitnya perekonomian desa, desa ini harus menjadi sentra kerajinan ternama, syukur --syukur bisa dikenal dimanca negara.

DOKPRI
DOKPRI
Maka, langkah pertama saya mulai. Saya ajak bisa beberapa buruh batik laki-laki dan masih muda. Ada tiga orang, yakni Umbuk Haryanto, Puryanto, dan Sogirin. ( ketiganya kini menjadi juragan besar Batik Faras, Sinar Abadi Batik, dan Sembung Batik ). Terakhir, setelah Puryanto bisa bangkit dari keterpurukan dan membangun Sinar Abadi Batik, meninggal dunia di usia yang masih relatif produktif yakni 52 tahun.

Mereka bersemangat untuk merubah nasibnya. Yakni dari buruh batik menjadi juragan. Maka semua apa saran dan ide saya pun dilakoninya dengan semangat. Awalnya mereka saya minta untuk mengumpulkan sebanyak mungkin lelaki muda buruh batik, untuk membentuk Asosiasi Pengusaha dan Pedagang Batik Kulonprogo ( APPBK ). Langkah berikutnya, mereka harus memulai menjadi perajin batik di rumahnya, mereka juga wajib membuat papan nama, dan merek dagang atas produk batik yang mereka hasilkan.

Langkah itu, klir sudah. Hanya dalam hitungan kurang dari setengah tahun.

Maka dengan semangat 45, salah satu perajin muda yang kulitnya bersih dan kelihatan tampan, yakni Umbuk Haryanto, kita daulat menjadi ketua Asosiasi. Ia dipilih karena tampilannya meyakinkan, meski pengalaman organisasi nol. Bahkan bicara di depan forum saja belepotan. Nggak apa-apa.

Saya memilih menjadi wakil ketua, mendampingi Umbuk Haryanto. Tercatat ada 14 perajin jadi-jadian dengan  brand-nya masing-masing. Ada yang namanya, Arischa Batik, Kencono Progo Batik, Sembung Batik, Batik Karina, Batik Faras, dll

Rasanya lega, setelah melihat mereka mulai produksi dengan ala kadarnya dan berani pasang papan nama.

Agar tidak ditertawakan di kemudian hari saya harus memutar otak. Agar mereka bisa menjadi juragan baru di rumahnya. Maka mikir mikir ketemulah ide, saya minta dengan setengah paksa kepada Sekda Pemda Kabupaten Kulonprogo, saat itu dijabat oleh Budi Wibowo, SH, dan alhamdulillah pejabat yang satu ini cukup mengerti derita batin saya. Saya minta Pemda Kulonprogo mengeluarkan surat edaran yang mewajibkan para pegawainya mengenakan batik pada hari tertentu, dua kali dalam satu minggu. Akhirnya Surat Edaran itu pun keluar, dan kini setiap pegawai haus mengenakan batik buatan perajin lokal, tiap hari Jumat dan sabtu.

Dari sinilah, para perajin pemula percaya, bahwa gagasan saya di atas bukan khayalan. Perlahan tapi pasti mereka mulai kedatangan pembeli, pehgawai pemerintah, bahkan pejabat. Bagi warga yang jauh dari kota, ini menggembirakan. Sekaligus menjadi kebanggaan.

Perl;ahan tapi pasti mereka berubah, dari buruh menjadi juragan. Dari berpikir upah menjadi berpikir mengupah, berkreasi dan melayani konsumen. Ini sesuatu yang dahsyat dan membuat mereka tampak dinamis.

Dua tahun berjalan, pada tahun 2010, saya kembali membuat ulah, saya ajak mereka ini untuk menggelar event, yakni membuat Pasar Sore Batik. Yakni pasar aneka produk batik yang hanya setiap sore. Awalnya kita memulai event i ni di sebuah lapangan pinggir jalan raya nasional, di depan kantor kecamatan. Hasilnya luar biasa...

Dengan dukungan pemberitaan media cetak dan elektronik, event ini banyak didatangi bakul-bakul batik dari berbagai kota. Maka para perajin pun akhirnya memiliki mitra baru untuk menjual produknya.

Di saat itu pula, saya berpikir, agar mereka tentram tidak terusik pajak atau pengutuan apapun, maka saya mengajukan surat kepada Pemda Kulonprogo, agar setiap perajin dibebaskan dari pajak reklame, atau papan nama, sampai mereka benar-benar mampu dan benar-benar menjadi juragan seutuhnya.

Usulan ini direspon baik oleh pejabat Pemda Kulonprogo. Para peajin bebas pasang papan nama di pinggir pinggir jalan, bebas membuat reklame di jalanan, dan membuat label pada tas atau apapun tanpa takut didatangi petuga pajak.

img-20170412-113302-59cbc5e3147f9678656123a3.jpg
img-20170412-113302-59cbc5e3147f9678656123a3.jpg
Sukses dengan Pasar Sore Batik, maka saya yakin, ide membangun Kulonprogo sebagai daerah sentra batik dan menjadi penyangga industri sandang nasional, bisa terwujud. Maka saya kembali resah, karena tahun 2012 bupati baru terpilih, saya tidak cukup kenal dengan sosoknya. Apalagi bupati yang baru ini seorang dokter, yang saya anggap tidak tahu seluk beluk pedihnya rakyat miskin senyatanya. Ia adalah Dr. Hasto Wardoyo, SPOG ( dan kini menjadi bupati kedua kalinya di Kbupaten Kulonprogo).

Maka saya menggelitik orang dekat bupati, agar berpikir untuk mengentaskan sebagian rakyat yang miskin dengan cara membangun sentra industri kerajinan batik. Agar mereka bisa menjadi besar, saya sodorkan konsep agar diterbitkan Surat Keputusan (SK) Wajib Batik bagi PNS Pegawai Swasta Pamong Desa, dan sekolah-sekolah.

Saya berjanji, jika DR. Hasto Wardoyo, SPOG bisa mengeluarkan SK Wajib Batik Kulonprogo, saya bersedia menyemir sepatunya. " Ini janji saya "

Waouu, usulan saya direalisaikan. SK Wajib Batik dilounching tgl 3 Juli 2012, saya pun harus menepati janji menyemir sepatu sang bupati.  Dan dimunculkanlah satu motif batik khas Kulonprogo hasil lomba desain batik yakni Gebleg Renteng. Sebagai motif wajib untuk seluruh seragam yang dipakai oleh pegawai dan sekolah-sekolah.

Maka para perajin batik pun bergembira ria. Banyak order batik datang, seragam pegawai,sekolah, guru, pamong desa, organisasi kemasyarakatan, semua heboh batik geblek renteng. Dan perajin pun mulai kelihatan kaya. Yang semula naik motor sekarang beli mobil, yang semula baunya apeg kini baunya mulai harum.

Tetapi siapa sangka, bahwa duit yang dibelanjakan ke perajin dari dinas -- dinas dan sekolah sekolah ini sesungguhnya hanya 10 persen dari seluruh budget yang semestinya. Karena ternyata untuk seragam sekolah dan guru-guru, banyak dibeli dari pedagang batik printing dari berbagai kota, karena sekolah sekolah bisa ngutang, atau kredit kepada para pedagang ini untuk jangka waktu lama. Sementara jika belanja kepada p[erajin lokal harus membayar cash.

Bayangkan, 10 persen dari total belanja seragam sekolah saja, bisa membuat para perajin bisa beli mobil baru. Apalagi jika 100 persen anggaran belanja seragam sekolah untuk batik dibelanjakan pada perajin batik lokal, pasti makin tambah banyak perajin batik yang kaya. Dan otomatif makin banyak warga di sentra sentra perajin batik yang ikut meningkat penghasilannya.

Namun masalah ini, seolah tidak urgen bagi Pemda Kabup[aten Kulonprogo. Nyatanya selama dua periode kepemimpinan DR. Hasto Wardoyo, SPOG, tetap saja pedagang batik printing / batik tipu tipu itu bebas berkeliaran di sekolah sekolah di Kulonprogo, menawarkan kredit jangka panjang untuk pengadaan seragam sekolah atau seragam guru dan pegawai sekolah.

Mata saya berkaca-kaca setiap saya menyaksikan para pedagang batik printing ini keluar masuk sekolah, dari TK hingga SMA/SMK. Mereka seolah tidak pernah menggubris, bahwa program seragam batik ini adalah hak para perajin batik lokal, yang berasal dari sebuah keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi rakyat yang miskin sebagai buruh. Para pedagang ini seolah tutup mata, bahwa mereka telah menyerobot hak saya, hak perajin batik, hak para buruh batik dan hak warga Kabupaten Kulonprogo, untuk sedikit lebih sejahtera.

Salam hangat, kita semoga kita ketemu lagi pada waktu yang lain masih seputar dinamika industri batik di Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta, yang kini menjadikan Sang Bupati Dr. Hasto Wardoyo, SPOG dipuja puja disaentero Nusantara, karena Batik Gebleg Renteng yang dianggap sebagai simbol perjuangan pembangunan ekonomi rakyat oleh sang Dokter Specalis Kebidanan itu. Tabik....

Pak Dhe Gondo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun