Hari masih pagi, pada pertengahan tahun 2008 lalu, dalam sebuah acara kunjungan pejabat tinggi negara ke Desa Gulurejo, Kecamatan Lendah, kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, saya menjumpai pemadangan yang menggelitik.
Banyak para perempuan tua, dan sejumlah lelaki muda mengayuh sepeda melintasi jalan raya menuju ke kota Yogyakarta. Tanya kanan kiri, ternyata mereka adalah buruh batik di sejumlah perusahaan batik ternama.
Mereka sudah puluhan tahun melakoni pekerjaan ini. Sebagai butuh batik. Bahkan ada yang telah bekerja sebagai buruh batik sejak tahun 1970-an. Wauuu...
Dan yang menakjubkan, di Desa Gulurejo, Kecamatan Lendah Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, secara turun temurun mereka banyak yang menjadi buruh batik di Kota Yogyakarta, bahkan sejak zaman kerajaan.
Otak saya pun berputar, saya ingin menghadang mereka, sudah saatnya mereka berhenti menjadi buruh batik di kota. Mereka harus menjadi juragang di rumahnya sendiri. Dan mereka harus menjadi pelopor industri kerajinan batik di Kabupaten Kulonprogo, yang terkenal paling miskin di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saya benar-benar nekad. Suatu pagi saya menghadang mereka di tengah jalan, dan saya ungkapkan niat saya tersebut, yakni ingin menjadikan mereka juragan di desanya sendiri. Apa jawaban mereka? " khayal, mbok rasah ngayal mas...( gak usah mimpi mas,red)," katanya.
Tetapi niat saya sudah bulat, saya bermimpi ingin menjadikan desa ini menjadi pelopor bangkitnya perekonomian desa, desa ini harus menjadi sentra kerajinan ternama, syukur --syukur bisa dikenal dimanca negara.
Mereka bersemangat untuk merubah nasibnya. Yakni dari buruh batik menjadi juragan. Maka semua apa saran dan ide saya pun dilakoninya dengan semangat. Awalnya mereka saya minta untuk mengumpulkan sebanyak mungkin lelaki muda buruh batik, untuk membentuk Asosiasi Pengusaha dan Pedagang Batik Kulonprogo ( APPBK ). Langkah berikutnya, mereka harus memulai menjadi perajin batik di rumahnya, mereka juga wajib membuat papan nama, dan merek dagang atas produk batik yang mereka hasilkan.
Langkah itu, klir sudah. Hanya dalam hitungan kurang dari setengah tahun.
Maka dengan semangat 45, salah satu perajin muda yang kulitnya bersih dan kelihatan tampan, yakni Umbuk Haryanto, kita daulat menjadi ketua Asosiasi. Ia dipilih karena tampilannya meyakinkan, meski pengalaman organisasi nol. Bahkan bicara di depan forum saja belepotan. Nggak apa-apa.