Ternyata banyak sikap mental yang musti saya perbaiki.
Renungan pertama.
Saya dulu sempat berpikir, apakah mungkin jalan hidup saya yang lurus-lurus ini, karena berkah dari orangtua saya yang juga hidupnya lurus-lurus saja? Saya merenung. Satu sisi mungkin benar. Bahwa makanan dan minuman yang masuk ke perutku insya allah benar-benar dari sumber yang baik lagi halal. Hingga keberkahan menjauhkan saya dari kesulitan hidup. Namun di lain sisi, perasaan seperti ini menjebak saya untuk memanfaatkan nama besarnya dalam beberapa aktivitas saya.
Renungan Kedua.
Tentang harta dan kekayaan. Betapa selama ini dan hingga malam ini pun, saya menganggap harta bisa membahagiakan. 'Dendam' saya pada hidup sederhana sewaktu kecil, membuat saya bertekad kuat ingin menjadi kaya. Agar bisa memiliki gadget yang bisa menaikkan prestige saya. Saya bosan dengan hidup seperti-seperti ini..
Namun ternyata, perburuan mewujudkan ambisi saya itu, mengantarkan pada satu kenyataan. Saya menjadi kurang bergaul. Kecuali dengan orang-orang yang saya kenal di kantor. Teman-teman saya, terutama teman lama, teman kuliah, teman waktu kecil hingga sanak saudara saya sendiri, terabaikan hanya untuk sekedar menanyakan kabar.
Barusan tadi siang, saat mengantarkan undangan pernikahan adik ke rumah Simbah saya (Uwak dari Ibu saya), betapa kagetnya saya saat diberitahu kalau Pakde Aji, anaknya yang bungsu, barusan menikah bulan lalu. Masya allah, betapa kualatnya saya sebagai cucu..
Belum lagi untuk sekedar mengingat hari lahir, mengucapkan selamat atas kelahiran anak, menuliskan di wall undangan pernikahan teman sendiri. Semuanya lalai untuk saya ucapkan. Padahal semua sudah dipermudahkan dengan adanya Facebook . Notifikasi Facebook via email pun tidak saya hiraukan. Betapa buruknya sikap saya dalam bersosialisasi...
Renungan Terakhir
Ini tentang kerja keras. Tidak ada alasan untuk mempertahankan kredo tentang makna kerja keras. Saya harus mampu mengubahnya menjadi kerja cerdas. Kerja keras itu mirip ingin menyelesaikan semua pekerjaan dan permasalahan di dalamnya, dengan hanya mengandalkan kedua tangan sendiri. Hanya dengan memanfaatkan kuota 24 jam yang kita miliki.
Bayangkan. Betapa sibuknya saya setiap hari. Pergi jam 9 pagi, baru pulang ke rumah pukul 23.30. Betapa begitu 'bodohnya' saya harus melakukan semuanya sendirian. Padahal banyak orang yang ada di sekitar saya yang bisa saya ajak bersama-sama.