Pada tahun 1972 seorang guru saya bercerita bahwa semasa muda dulu beliau sering ikut tawuran. Konon, kelompok beliau ini berjalan kaki mirip longmars dari kawasan rumahnya menuju kawasan lain untuk menantang meraka berkelahi.
Bayangkan, jika dua kelompok manusia dengan semangat yang sama bertekad untuk mengadu fisik. Sudah dapat diduga, mereka tentu berangkat bukan hanya tangan kosong. Masing-masing orang sudah siap dengan senjata, ada yang membawa pisau, klewang, batu, potongan kayu, atau apa saja yang diperkirakan bisa digunakan untuk menyerang dan mempertahankan diri.
Dewasa ini acara tawuran antara dua kelompok manusia sering terjadi. Pelakunya bukan hanya kaum rendahan tetapi juga melibatkan kelompok yang bisa disebut kaum intelektual.Tawuran kadang tidak menimbulkan kerugian materiel tetapi bahkan menimbulkan korban manusia, baik luka-luka maupun yang meninggal dunia.
Saya terpaksa harus flash back apa yang pernah saya alami.
Ketika masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR), teman satu sekolahan adalah anak-anak dari penduduk desa yang sama. Nama Suyoko, Sukarti, Muasih, Fatkur, Imam Syafii, Saminten dan teman-teman yang lain adalah sesuku-bangsa karena memang desa saya belum ada pendatang dari suku bangsa yang lain. Agama juga semuanya Islam. Dengan demikian maka satu desa menggunakan bahasa yang sama dan memeluk agama yang sama pula. Tak pernah ada tawuran, kecuali perkelahian orang-perorangan akibat kenakalan anak-anak semata.
Setelah masuk SMP, saya mulai mengenal yang namanya Nie Sing Bie, seorang warga negara Indonesia keturunan Cina. Agama yang dipeluk bukan Islam. Juga ada nama Sanjaya dan lain-lain yang tidak beragama Islam. Di sekolah inipun hampir tak saya jumpai perkelahian pelajar, baik intern SMP maupun tawuran antar SMP au SMP dengan sekolah-sekolah lain. Sudah mulai ada plurarisme namun yang namanya tawuran nyaris tak terdengar.
Hal yang sama juga saya alami ketika masuk STM. Ada pelajar dari sukubangsa dan pemeluk agama lain. Tetapi juga tak pernah lihat ada tawuran.
Ketika menjadi Taruna Akabri dari tahun 1971-1974, pluralisme semakin tampak nyata. Taruna berasal dari aneka suku bangsa yang ada di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke, yang memeluk bermacam-macam agama. Karena dididik dalam ikatan disiplin yang kuat maka hampir tak ada perkelahian, apalagi tawuran diantara kami. Ke-Bhineka Tunggal Eka-an kami begitu kuat. Tia-tiap peleton Tarunanya heterogen, baik dalam hal suku bangsa maupun agamanya. Tak ada peleton khusus orang Jawa dan tak ada pula peleton khusus orang Manado, Tapanuli, Ambon, Papua, Bali, Bugis, Minang, Sasak, dan lain-lainnya.
Setelah dinaspun saya bekerja satu kesatuan dengan aneka sukubangsa dan agama. Namun tak pernah sekalipun ada pertikaian yang melibatkan suku maupun agama. Pada masa dinas inilah saya bersama aparat keamanan lainnya justeru sering memantau dan membantu penyelesaian pertikaian antar kelompok dan suku.
Pertikaian atau perkelahian antar kelompok dalam bentuk tawuran bisa disebabkan oleh berbagai faktor antara lain :
1. Solidaritas yang sempit dan negatif sehingga menimbulkan rasa setia-kawan yang membabi-buta sehingga tindakannya negatif-destruktif.