Atas tanggapan dan saran banyak orang ini, saya cuma menjawab ringan saja “Mungkin Aurel dan KD sudah habis kesabarannya, sudah putus harapannya, sudah buntu otaknya, sehingga sudah tidak bisa bicara baik-baik empat mata dari hati ke hati, dan memilih menggalau di media social seperti mantan presiden SBY, yang kemarin baru beretorika dengan mengatakan agar Jokowi menghentikan retorika karena rakyat tak membutuhkannya.”
Dari perseteruan Ibu dan anak karena orang tua yang bercerai, dalam contoh kasus KD vs Aurel, Saya mau membahas kemungkinan-kemungkinan anak menjadi nakal, menjadi liar, menjadi susah diatur, menjadi apatis, karena kecewa mengapa bapak ibunya yang sangat disayang, sangat dihormati, sangat dicintai, memilih bercerai dan berpisah demi ego masing-masing sehingga ‘memaksa’ anak-anak TERPISAH dari kedua orang tuanya yang sebelumnya tinggal satu rumah menjadi tinggal berjauhan dan bila bertemu sibuk dengan pasangan masing-masing dan seperti mahluk asing di depan anak-anak kandungnya, karena grogi, kikuk, dan perasaan gak enak atas pasangan masing-masing yang (mungkin) mencurigai akan timbul CLBK sehingga duda dan janda tersebut akan rujuk dan kembali menjadi keluarga utuh, bukan hanya demi anak-anak, tapi demi cinta dan sayang yang masih besar di dalam hati yang tidak mampu disembunyikan karena terus mendobrak keras di dalam dada.
Istriku tercinta adalah anak yang tumbuh dari orang tua yang bercerai.
Istriku memang menjadi anak yang nakal, yang suka melawan orang tua, antara lain saat ia tetap memilih aku yang ganteng, pintar, humoris dan masa depan cerah menjadi suaminya dibanding pria lain yang dipilihkan orang tuanya yang katanya akan mewarisi kekayaan sekitar Rp 20 miliar dalam acara perjodohan dengan anak rekan kerja ibunya.
Istriku memang menjadi anak yang liar, saat pacaran denganku, ia seperti burung yang terlepas dari sangkarnya. Kami keliling kota berdua, menyusuri jalanan ibukota dan tiduran di jalanan seperti Noah dan Allie di film Notebook, menginap di hotel transit, villa sampai hotel bintang 5, menonton film di bioskop-bioskop ibukota dan sesekali membuat film di bioskop, naik turun gunung bersama, berenang di danau, sungai dan laut tak takut mati, malah ingin mati bersama dalam kondisi berpelukan. Saat pulang ke rumah dan ibunya memarahi mengapa seperti anak jalanan yang gak diurus, liar dan susah diatur, istriku (dahulu pacarku) memberikan jawaban taktis yang membuat ibunya melongo “Mama, aku sudah dewasa, Aku bisa menentukan hidupku sendiri dan aku akan bertanggung jawab dengan keputusanku. Aku ingin bahagia Mah. Selama ini aku gak bahagia hidup dengan mama tanpa kasih sayang Papa. Apa Mama mau aku kehilangan kebahagiaan yang aku dapatkan di setiap hembusan nafasku bersama mas Tono dengan memintaku meninggalkannya? Mas Tono bukan hanya seorang kekasih bagiku, ia juga seorang kakak, seorang bapak, seorang sahabat. Aku sungguh beruntung Mah, banyak gadis kinyis-kinyis, mba-mba office dan wanita matang manggis yang mati-matian mendapatkan cinta mas Tono, tapi ia memilih aku sebagai kekasihnya dan kita berencana menikah setelah aku wisuda. Mama mau melihat aku mati pelan-pelan dengan membuang keberuntunganku dan merenggut kebahagiaanku ini?”
Ibunya tak mampu berkata-kata mendengar pembelaan anak gadisnya, yang selama ini disangkanya masih seorang gadis cilik yang imut, lucu menggemaskan, padahal sudah tumbuh remaja, bahkan dewasa dan sudah bisa bikin anak cilik juga. Ibunya lalu mengatakan “Kalo bersama mas Tono kamu merasa bahagia, mama tak bisa bicara apa-apa selain merestui kalian agar segera menikah, daripada jadi omongan tetangga dan bi Ijah.”
Istriku memang menjadi anak yang apatis, ia tidak mudah mempercayai mulut laki-laki, karena bagi dirinya semua laki-laki sama saja, banyak yang suka berkata manis di mulut, termasuk janji-janji surga yang intinya hanya untuk mendapatkan cinta dan tubuh wanita. Saya termasuk sulit menaklukan hatinya, dan Saya gak banyak bicara untuk menaklukan hatinya. Prinsip saya sederhana, yaitu “sedikit bicara banyak bekerja” dan “Saya memberi bukti, bukan janji”.
Pelan tapi pasti, sesuai prinsip Jawa yang saya yakini “Alon-alon waton klakon” hati, jiwa dan tubuh istri saya berhasil saya dapatkan. Ia tak hanya bertekuk lutut, tetapi juga membuka paha, karena perhatian dan kasih sayang tulus dan serius yang saya berikan, salah satu yang saya ingat adalah saat Saya mengatakan “Aku sangat cinta dan sayang padamu. Yuk kita menikah. Mudah-mudahan ibumu setuju dan merestui, kalo ibumu tidak setuju, jangan salahkan aku kalo kubunuh ibumu.”
Akhir kata, mengambil contoh dari istriku yang merupakan salah satu anak korban perceraian orang tua, harus diakui ada potensi anak-anak tersebut akan menjadi nakal, liar, susah diatur dan apatis, tapi jika ia bertemu sosok pendamping yang tepat, seperti diriku untuk istriku, maka energy negative yang ada akan berubah menjadi energy positif, dan insha Allah kebahagiaan yang hilang akibat perceraian kedua orang tuanya akan digantikan kebahagian berkali-kali lipat bersama pasangan yang tepat tersebut.
Selamat pagi Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H