[caption id="attachment_394618" align="aligncenter" width="288" caption="Foto dari bbm sonny"][/caption]
Gugatan Praperadilan yang diajukan komjen pol Budi Gunawan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penetapan Tersangka oleh KPK yang cacat prosedur batal digelar kemarin, karena pihak tergugat (KPK) tidak hadir tanpa alasan yang jelas.
Di PN Jakarta Selatan sendiri sudah ramai dihadiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan terkait gugatan praperadilan tersebut, baik penggugat, media, pengamat, sampai rakyat yang gak jelas. Juga hadir pihak-pihak yang kepo untuk melihat secara LIVE suasana persidangan yang dijaga ratusan polisi demi terciptanya keamanan dan kenyamanan selama persidangan gugatan praperadilan. Tamu-tamu tak diundang juga berdatangan, yaitu copet.
Dari beberapa sosok yang terlihat hadir di PN Jakarta Selatan, saya melihat seorang sosok familiar yang juga hadir di sana. Entah apa kepentingannya berada di PN Jakarta Selatan, yang pasti ia tidak pernah jauh berdiri dari kamera wartawan, sehingga mau gak mau membuat wartawan jadi sering mewawancarainya.
Prinsipnya sederhana saja bagi wartawan "Daripada susah-susah mencari nara sumber dan harus mengatur waktunya yang padat dan membayar mahal atas opini nara sumber tersebut dalam suatu sesi wawancara, mending wawancara nara sumber yang ada di sekitar, bisa diwawancara kapan saja dan gratis." Sosok nara sumber yang mendekati dan ternyata pas dengan kriteria ini, jatuh ke sosok Prof DR Denny Indrayana, (katanya) pakar hukum dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Denny Indrayana beberapa kali mengeluarkan pernyataan seksi terkait gugatan praperadilan BG ke KPK, yaitu "Dasar hukum yang diajukan Budi Gunawan untuk mengajukan praperadilan, tidak ada. Seperti jurus pendekar mabuk."
Perkataan Denny Indrayana tentang Pendekar Mabuk ini, setelah saya pikir-pikir dan renungkan dalam-dalam, koq pas mantab dengan sosok Denny Indrayana sendiri.
Yes, pendekar mabuk itu, contoh paling nyata adalah pendekar hukum dari UGM Prof DR Denny Indrayana. Denny Indrayana ini terkenal akan inkonsistensinya, terhadap satu situasi dan kondisi terkait hukum, pendapatnya sering bertolak belakang. Persis orang mabuk.
Apa premis-premis yang mendukung klaim dan kesimpulan saya bahwa pendekar mabuk itu adalah Denny Indrayana? Rekan-rekan pembaca mau tahu? Beneran mau tahu? Yuk kita cek sama-sama. Cekidot ;
1. Sewaktu jadi aktivis, Denny Indrayana mengatakan epicentrum korupsi di Istana. Setelah ditarik presiden SBY ke istana, karena terus mengkritik SBY dan istana di setiap kesempatan (dalam demo jalanan, tulisan koran dan wawancara TV), Denny Indrayana lupa di mana epicentrum korupsi. DI tidak pernah melaporkan atau membongkar satupun korupsi di lingkungan istana.
2. Sewaktu jadi sekretaris pemberantasan mafia hukum, SBY diyakinkan bahwa DI adalah sosok yang tepat memimpin pemberantasan korupsi di Indonesia. Sampai satgas dibubarkan karena tidak ada hasil kerja yang signifikan kecuali menambah pengeluaran negara a.k.a pemborosan, mafia hukum malah makin marak, makin sulit diberantas.
3. Korupsi, terorisme dan narkotika adalah kejahatan luar biasa. Namun, berkat saran dan pertimbangan hukum Denny Indrayana, narkotika bukan lagi kejahatan luar biasa, terbukti dengan dikabulkannya Grasi gembong narkoba Meirika Franola yang dihukum mati oleh MA, di tolak PK-nya, lalu oleh SBY atas pertimbangan dari wamenkumham RI Denny Indrayana, diubah hukumannya menjadi seumur hidup dengan alasan Ola hanya kurir, bukan bandar. Saat ini, Meirika Franola kembali menjadi terdakwa di pengadilan negeri Tangerang, dan kembali dituntut mati oleh JPU dari Kejari Tangerang karena mengendalikan peredaran narkoba shabu seberat 775 gram di bandara Husein Sastranegara Bandung.
Dari 3 jurus-jurus di atas (masih banyak jurus-jurus DI lainnya), hemat saya sudah dapat diambil kesimpulan bahwa Denny Indrayana adalah pendekar mabuk.
Loh, judul tulisan ini juga menyebutkan jurus pendekar mabuk dari Jokowi. Mana jurus-jurus Jokowi dimaksud?
Ini salah satu jurus pendekar mabuk Jokowi
Denny Indrayana si loyalis SBY, tidak ikut arahan SBY untuk memilih pasangan Prabowo - Hatta Rajasa di pilpres 2014. DI malah menunjukan salam 2 jari seusai mencoblos di TPS. (Mungkin) harapannya agar Jokowi melihatnya dan mengajaknya masuk kabinet. Paling tidak jadi staf khusus, staf kepresidenan, atau staf dari staf khusus juga gpp.
DI berpikir ia punya integritas dan keilmuan yang memadai, sehingga Jokowi tidak mungkin menolaknya. Apalagi ia sudah menunjukan sudah tidak loyal ke SBY dengan mencoblos Jokowi saat pilpres. Tapi sayang seribu sayang, jokowi mungkin sedang mabuk, ia tidak melirik Denny sedikitpun, ia tidak menyadari potensi besar yang dimiliki Denny yang mampu memikat hati SBY karena pemahaman ilmu hukum Tata Negara dan integritas serta loyalitasnya yang tidak ada bandingannya di Indonesia kecuali Ruhut Sitompul. Denny sama sekali gak masuk hitungan untuk duduk di kabinet, tidak juga sebagai staf khusus. Terkait ini, Jokowi benar-benar pendekar mabuk.
Akhir kata, tak selamanya mabuk itu negatif. Buktinya saya dan istri, sejak pacaran sampai saat ini, setiap hari tetap merasa dimabuk cinta. Alhamdulillah, hubungan suami istri kami langgeng, insha Allah sampai maut memisahkan, walaupun dalam perjalanannya banyak gadis-gadis kinyis, mba-mba office dan wanita matang manggis silih berganti datang menggoda, alhamdulillah Saya tidak tergoda dan tetap melihat istri saya sebagai wanita tercantik dan terbaik di dunia.
Selamat siang Indonesia
Ps :
Kalo jurus pendekar mabuk bisa menang melawan jurus-jurus pendekar gak mabuk, mending pakai jurus pendekar mabuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H