SEPULUH KALI LIPAT
Pada awal 80-an saya pernah membuka jasa pembuatan reklame, stempel dan spanduk serta plang perusahaan, kantor atau instansi pemerintah. Lumayan bisa untuk menghidupi seorang isteri dan empat orang anak dan biaya kontrakan rumah sebagai tempat usaha. Dari kerja seni sangat jauh jika dibandingkan bekerja diperusahaan. Saat itu sebelum saya membuka usaha reklame stempel dan sablon, gaji saya diperusahaan  hanya Rp 35.000,- (tiga puluh lima ribu rupiah!!!) sebulan. Akhirnya saya nekat keluar dari perusahaan dan mencoba hidup di kota dengan membuka usaha reklame dan stempel, penghasilannya?........rata-rata 10 ribu rupiah sehari, nyaris sepuluh kali lipat jika dibanding bekerja sebagai karyawan di perusahaan. Â
'KECELAKAAN' MENJADI INSPIRASI SENI
Banyak sekali pengalaman atau suka duka hidup di kota. Berikut ini pengalaman yang menyedihkan akan saya paparkan pada tulisan ini mungkin bisa menjadi pelajaran atau inspirasi para pembaca.
Setelah pindah ke kota Sungai Penuh dari Kayu Aro, saya mendapat kontrakan rumah kecil dengan dinding plupuh (batang bambu yang dipecah-pecah namun masih terangkai). Saya belum mendapat pekerjaan, saya coba ikut teman menjadi  buruh bangunan. Terkadang menjadi tukang agkut pasir dan terkadang membantu memasang plafon dari tripleks atau kayu lapis. Dan dari sinilah saya mulai mendapat ide atau inspirasi. Potongan-potongan atau sibiran tripleks kecil-kecil yang tidak terpakai saya bawa pulang.
Tiba di rumah potongan-potongan tripleks tersebut saya coba buat sesuatu, sesuai lebar atau panjangnya tripleks tersebut. Â Ada yang bisa dibuat tempat foto, tempat pensil, tempat abu rokok, tempat sisir dan lain sebagainya.
Saya beli alat-alat seperti gergaji tripleks, pemotong kaca, martil kecil, cat kaleng kecil berbagai warna, paku kecil, pokonya semua serba kecil, namun semangat dan harapannya tetap besar.
Pertama tripleks saya gambar sesuai imajinasi (tidak mEnjiplak atau mencontoh yang lain), kali ini saya buat bingkai atau tempat pajangan foto. Setelah itu saya potong dengan gergaji tripleks, kemudian saya amplas tepi-tepinya kemudian saya cat dan dijemur.
Nah disinilah peristiwa yang menyedihkan terjadi. Terjadi 'kecelakaan', sementara cat belum kering tiba-tiba ada angin yang menerbangkan calon pajangan foto tersebut. Kalau tidak malu saya menangis kala itu, lantaran kerajinan tangan yang saya buat tersebut  menjadi tidak rajin lagi, karena jatuhnya tengkurap, bagian yang kena cat tertelungkup ke tanah sehingga tertempel atau berlepotan tanah sampah dan pasir-pasir sialan.
Barang itu saya ambil, dilihat-lihat sambil berpikir, mau diapakan barang ini, apakah dicuci dengan bensin kemudian dicat ulang. Mungkin ini suatu ilham atau inspirasi, bagaimana kalau saya coba sengaja taburi pasir setelah dicat.
JANGAN PERNAH JERA MENCOBA