Pilgub DKI Jakarta 2017 Adalah Pilkada Yang Paling Membingungkan. Tak hanya membingungkan, Pilgub DKI 2017 juga membuat pusing tujuhbelas keliling banyak pihak. Yang paling bingung dan pusing adalah mereka yang tujuannya tak hanya ambisi ingin berkuasa di DKI, tapi niat utamanya hanya ingin mendongkel Ahok dari Ibukota Jakarta.
Saking bingungnya terkadang orang melakukan sesuatu yang diluar kepatutan, mendadak mengidap “ekshibionisme”. Memamerkan secara telanjang sifat asli mereka, misalnya memamerkan harta kekayaan didepan publik, dengan mengendarai mobil mewah sambil menghambur-hamburkan uang dijalanan. Itukah yang menjadi andalannya untuk meraih simpati rakyat Jakarta? Hehehehe.....hedonisme kok di pamerkan. Tapiiii..., ya seperti itulah kualitasnya. Semoga tidak benar-benar mengidap ekshibionisme sejati.
Ada balon yang kebingungannya sangat membingungkan, bingung juga ya? Begini, ada balon yang menawarkan diri hampir ke semua partai, mereka belum tentu akan diusung partai tertentu bahkan partainya sendiri pun belum tentu sudi mengusungnya, tapi sudah berkoar-koar seolah-olah mereka bakal calon terhebat se Indonesia. Kini ia bersama 30-an lebih peserta lainnya telah mengikuti penjaringan yang diadakan oleh PDIP.
PDIP adalah satu-satunya partai yang memenuhi syarat mengusung sendiri kandidat cagub DKI tanpa berkoalisi dengan partai lain. PDIP juga punya kader-kader yang mumpuni untuk di jagokan melawan Ahok, tapi kok mengadakan penjaringan dengan cara konvensi yang menerima peserta dari luar partainya. Apakah PDIP sudah tidak percaya lagi dengan kader-kadernya sendiri. Atau mungkin kader PDIP memang tidak ada yang layak atau mampu melawan Ahok?
Yang lebih sangat amat membingungkan sekali, jika ujung-ujungnya yang menentukan layak tidakknya seseorang menjadi kandidat cagub DKI adalah Ketua Umum PDIP, kenapa harus diadakan konvensi, ada apa dibalik semua itu? Ketimbang membingungkan dan hanya sebagai formalitas belaka, mbok ya langsung saja ditunjuk siapa yang akan diadu dengan Ahok pada pilkada DKI 2017, simpel kan? Tapi, namanya juga politik, apapun bisa dilakukan meski bagi orang awam itu membingungkan.
KIPAS PADI
Saya menganalogikan proses penjaringan atau konvensi yang diadakan oleh PDIP seperti ilustrasi yang saya gambarkan diatas. Mendapatkan sebutir beras yang bermutu dari tumpukan gabah yang (tidak semua) bernas.
Jika Ahok kita umpamakan sebagai sebutir beras, maka calon-calon penantang Ahok kita ibaratkan sebagai segunung gabah yang baru saja diusung dari mesin perontok. Untuk mencari sebutir beras dari gabah yang bernas dan berkualitas, dibutuhkan proses panjang dan akan menguras energi.
Siapapun yang ingin mendaftar sebagai peserta konvensi diterima dengan baik—tentunya dengan syarat-syarat. Mayoritas peserta menyetujui syarat-syarat itu. Memang ada peserta yang yang mengundurkan diri sebelum konvensi, lantaran tidak bersedia membayar administrasi—yang katanya 5 juta rupiah itu.
Ibarat padi, sebelum di huller untuk dijadikan butiran-butiran beras, terlebih dahulu disortir atau dibersihkan dari sampah-sampah. Kalau dalam konvensi mungkin seleksi administrasi dan menyerahkan persyaratan yang telah ditentukan—tentu juga disepakati bersama.
Secara tradisional petani membersihkan padi dengan cara dihembus dengan kipas manual, bisa juga dengan menggunakan motor listrik (saya pernah membuat kipas tersebut. Prosesnya sederhana, pertama gabah yang masih bercampur dimasukkan ke bak penampung. Dalam konvensi pasti tidak sesederhana itu.
Dari bak penampung melalui klep atau pintu yang dapat distel gabah atau padi akan turun sedikit demi sedikit seraya dihembus angin dari kipas yang telah dihidupkan atau diputar secara manual (dikerjakan oleh dua orang) sebelumnya. Jika fit and proper test dilakukan oleh para ahli atau spesialis bidang yang akan ditanyakan, mungkin.
Proses pengipasan akan memisahkan antara padi atau gabah-gabah yang mentes (bernas) dan yang gabug (kosong). Gabah yang bernas—karena lebih berat—akan jatuh pada corong pertama dan berikutnya. Dan yang gabug (kosong) semakin mudah diterbangkan keluar dari cerobong dan dianggap sebagai sampah. Sedangkan dalam ajang konvensi yang diadakan oleh PDIP hanya akan menghasilkan 5 peserta yangmentes(bernas), sementara sisanya terbang melayang-layang hanya (sambil) menghambur-hamburkan uang. Jangan-jangan yang lima gabug juga....hahahaha.
Setelah didapat gabah yang bernas untuk dijadikan beras, proses selanjutnya dibawa ke huller (beberapa masih ada juga yang menumbuk dengan menggunakan alu kincir air) untuk memecah atau membuang kulit-kulit gabah. Tahapan terakhir untuk mendapatkan beras bermutu atau layak konsumsi beras kembali dibersihkan atau dipisahkan dari melukut, sekam dedak dan sebagainya. Dalam konvensi mencari kandidat gubernur DKI yang diadakan oleh PDIP, setelah didapatkan 5 peserta yang dianggap mampu mengalahkan sang petahana, ada 4 orang terpilih yang harus dieliminasi, artinya hanya satu orang yang akan diusung oleh PDIP (plus koalisinya). Celakanya, proses panjang ribet dan rumit itu keputusan akhir ada diujung pinset sang Ketua Umum PDIP. Akhirnya, setelah mengikuti konvensi dan berhasil menjadi 5 besar malah sport jantung. Jangan-jangan......jangan-jangan.....hanya dijadikan wakil saja, atau malah tidak dijimpit sama sekali oleh sang penyelenggara konvensi. Hehehehe rasakno.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H