[caption id="attachment_228990" align="aligncenter" width="400" caption="dok.pri"][/caption] Bayi Yang Lahir Tidak Diharapkan Oleh : Pak De Sakimun Di Kahyangan Arga Dahana seorang Bidadari yang bernama Dewi Dresanala yang sedang hamil tua menghadap ayahnya Batara Brahma. Batara Brahma sedang galau pikirannya lantaran mendapat perintah tegas dari sang ayah Batara Guru agar menceraikan anaknya Dewi Dresanala dengan Raden Harjuna suaminya. Batinnyapun berkecamuk antara mematuhi ramanda Batara Guru atau melindungi anaknya Dewi Dresanala yang sekaligus melindungi calon cucunya yang dikandung Dewi Dresanala itu. “Kamu jangan membangkang Dresanala, kamu harus menurut dan patuh apa kata ayahmu wahai anakku!” bentak Batara Brahma pada anaknya, Dewi Dresanala yang sedang tertunduk memegang perutnya yang membesar, sembari terisak isak. “Ampun rama pukulun, suami saya Raden Harjuna telah diusir dari Kahyangan Kaendran, sementara saya sedang hamil tua, setelah itu saya hendak dipalakramakan dengan Dewasrani, bagaimana menurut akal sehat rama pukulun?” jawab Dresanala dengan terbata-bata. “Kamu jangan membantah Dresanala, kamu harus mau melaksanakan apa perintahku, seperti saya patuh pada Sang Hyang Batara Guru untuk memisahkanmu dengan Harjuna dan mengawinkanmu dengan Dewasrani itu, hai Dresanala! ini masalah integritas, tidak bisa main-main Dresanala, jika kamu menolak palakrama dengan Dewasrani berarti ayahmu bakal dipecat dari lembaga kadewatan, Dresanala pikirkan baik-baik itu!” cecar Batara Brahma kepada anak perempuannya itu, tidak sabar. “Lebih baik bunuh saja saya bersama janin yang saya kandut ini, rama pukulun, daripada saya harus menikah dengan orang yang tidak saya cintai si Dewasrani itu rama!” tukas Dresanala pada ayahnya. “Apa? Katamu! Kamu minta dibunuh?, bukan kamu yang akan saya bunuh tapi bayi yang berada dalam kandunganmu itu yang harus diaborsi, tau!” Batara Brahma semakin beringas seraya menjambak rambut Dresanala dan menariknya keluar untuk dipulasara. Batara Brahma Lebih mementingkan jabatannya daripada keselamatan anak dan bakal cucunya itu. Sementara itu, dewa-dewa kroco yang ditugaskan oleh Batara Guru untuk mengawal dan mengikuti Batara Brahma sedang menunggu di luar, menyaksikan Batara Brahma dengan beringas sedang menghajar anaknya dan akan menggugurkan bakal cucunya dari kandungan Dewi Dresanala itu. Dari kejauhan, Batara Narada yang sejak awal sudah menentang kehendak Batara Guru yang akan menjodohkan Dewasrani dengan Dewi Dresanala itu, memantau gerak-gerik Batara Brahma dan konco-konconya yang bertindak melesat dari nalar dan diluar perikemanusiaan itu. “Weee lhadalah Brahmaaa...Brahma, kamu akan membayar utang nanti Brahmaa..Brahma, bayi dalam kandungan itu tidak mempunyai dosa apa-apa, kok akan kamu gugurkan paksa, sama saja kamu sedang menabur angin Bromooo....tidak lama lagi kamu pasti akan menuai badai!!” gumam Batara Narada dengan geram dari kejauhan. Seperti yang diharapkan Batara Guru dan pendukungnya, bayi itu akhirnya dilahirkan secara paksa oleh kakeknya sendiri Batara Brahma setelah Dewi Dresanala dihajar. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi Batara Brahma itulah yang menyebabkan Dewi Dresanala mengeluarkan darah dan diikuti oleh lahirnya sang jabang bayi yang tak berdosa itu. Dresanalapun pingsan, namun anehnya jabang bayi itu lahir dengan selamat tanpa cedera sedikitpun. Melihat kejadian itu Batara Brahma semakin kalap, bukan Dresanala lagi yang menjadi sasaran kemarahannya, tapi si jabang bayi itu yang langsung diinjak-injak (wuih sadis banget tuh kakek). Namun bayi yang berjenis kelamin laki-laki yang tak berdosa itupun tetap tidak mengalami luka sedikitpun, bahkan menangis semakin keras. Menyaksikan Batara Brahma kewalahan menangani cucunya yang tidak diharapkan lahir dalam keadaan hidup itu, pengikut Batara Brahma dan kroco-kroco Batara Guru langsung ikut mengerubut dan beramai-ramai mengeroyok si jabang bayi yang masih berlumur darah dan ketuban itu. Namun bayi itu justru semakin kuat dan lincah bergerak-gerak dan matanya melihat dengan tajam oknum-oknum dewa yang ingin membunuhnya itu. Batara Brahma, meskipun dalam hati ia merasa bangga mempunyai cucu yang sakti mandraguna itu, tapi ia tidak punya pilihan lain kecuali harus membunuh cucunya sebagai bentuk tanggung jawab dan kepatuhan terhadap atasannya atau ayahandanya, Sang Batara Guru yang telah mengultimatum akan memecat Batara Brahma dari kadewatan jika tidak bisa memaksa lahirnya jabang bayi dan sekaligus membunuhnya. Melihat konco-konconya yang ada duapuluh orang lebih itu juga tak sanggup membunuh seorang bayi, maka Batara Brahma semakin emosi langsung melarak (menggeret dengan paksa) si jabang bayi itu dibawanya lari dan diceburkan ke Kawah Candradimuka. “Jangankan seorang bayi yang terdiri dari daging yang masih lunak, gunung batu saja akan lumat menjadi bubur jika dimasukkan ke Kawah Candradimuka”, pikir Batara Brahma sambil menyunggingkan senyum kemenangan. Setelah menceburkan si jabang bayi ke dalam Kawah Candradimuka, Batara Brahma segera bergegas menolong Dewi Dresanala yang telah siuman dari pingsannya tadi dan segera menyerahkan kepada sang bos atau Batara Guru. Batara Brahma tidak sadar bahwa ia selalu dikuntit oleh Batara Narada kemana saja. Setelah tahu Batara Brahma membawa jabang bayi ke Kawah Candradimuka, Batara Narada pun segera menuju kesana dengan maksud akan menolong si jabang bayi, “Siapa tahu masih bisa ditolong” pikir dewa cebol tapi hatinya bersih itu. Namun alangkah menyesalnya saya, lantaran cerita ini terpaksa harus bersambung, biar nggak membosankan, kepanjangan. Hehehehe. ***** NB: Tulisan ini sebagai selingan tulisan serial Mengais Warisan Budaya Leluhur sebelumnya, meskipun tentang (cerita) wayang juga. ***** SolSel, 24-02-2013 Pak De Sakimun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H