Mohon tunggu...
PAK DHE SAKIMUN
PAK DHE SAKIMUN Mohon Tunggu... pensiunan penjaga sekolah -

Sedang menapaki sisa usia. Mencari teman canda di dunia maya. Hobi apa saja termasuk membaca dan (belajar) menulis. Bagi saya belajar itu tak berbatas usia. Menuntut ilmu dari ayunan hingga liang lahad. Motto : Seribu orang teman sangat sedikit, dan satu orang musuh terlalu banyak.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Agamamu Apa?

15 Desember 2013   10:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:54 1691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_283940" align="aligncenter" width="600" caption="Selamat Natal Dan Tahun Baru. Dok.pri"][/caption]

Pertanyaan itu terlontar dari salah seorang staf sebuah perusahaan 42 tahun lalu. Wajar saja beliau menanyakan hal itu pada saya. Pasalnya saya bekerja baru satu minggu dibagian teknik dimana beliau yang menjadi salah satu stafnya. Sebelumnya saya bekerja di pabrik pengolahan teh kering bagian sortasi. Namun saya di asistensikan ke bagian teknik lantaran bagian teknik membutuhkan tenaga karyawan yang bisa menggambar. Dan kebetulan saya sedikit-sedikit bisa, itulah sebabnya akhirnya saya bukan hanya asistensi, tapi menjadi karyawan tetap di bagian teknik PTP 8 Kayu Aro  (sekarang PTPNusantara 6) selama hampir sepuluh tahun. Pernah saya tulis disini.

Kembali pada pertanyaan, “Agamamu apa?” Menurut saya itu sebuah pertanyaan yang aneh yang pernah saya dengar yang ditujukan pada saya oleh seorang staf perusahaan. Memang kelihatannya beliau hanya iseng menanyakan hal itu pada saya. Dan sayapun menjawab apa adanya.

“Agama saya, ya Islam Pak, ada apa Pak?” jawab saya tak acuh sambil masih memegang kuas cat.

“Ah tidak apa-apa, cuma sekadar tanya saja?” ujar Bapak itu dengan mimik agak sinis.

“Oh, sekadar tanya, tapi saya jadi kurang enak Pak dengan pertanyaan Bapak itu Pak”, timpal saya.

“Kamu mengaku beragama Islam, tapi kamu kenapa menggambar Salib, Yesus, Bunda Maria dan gambar-gambar lainnya yang bertentangan dengan Islam?” cecar Bapak itu bertambah serius.

Kuas saya letakkan dan saya mengambil sebatang kretek 339 (Sam Sam Kiu) untuk disulut. Lumayan bisa  istirahat sambil menjawab pertanyaan Bapak A tersebut, pikir saya.

“Loh saya ini hanya karyawan Pak, apa yang diperintahkan oleh atasan sepanjang saya bisa mengerjakan dan ada kaitannya dengan tugas saya, ya saya kerjakan” jawab saya, sambil mengepulkan asap kretek pertama.

“Oh begitu, apakah gambar salib, bunda maria dan lain-lainnya itu ada hubungannya dengan perusahaan yang mengolah teh ini?” kejar beliau.

“Kebetulan perusahaan akan merayakan Hari Natal buat karyawan, maka yang saya gambar tentu gambar salib, bunda maria dan lain lain. Jika perusahaan  memperingati Isra’ Mi’raj atau Maulid Nabi dan Halal Bilhalal yang saya gambar pasti Masjid, kaligrafi dan ketupat. Demikian pula jika  memperingati hari Kemerdekaan RI saya pasti diperintah menggambar bambu runcing, Burung Garuda, Bendera Merah Putih dan lain sebaginya. Apakah ini juga ada hubungannya dengan perusahaan yang mengolah teh ini Pak?” pertanyaan balik dari saya.

“Perasaan kamu bagaimana ketika kamu menggambar salib, yesus dan bunda maria itu?”

“Biasa saja Pak, rasanya sama saja seperti ketika saya menggambar Burung Garuda, bambu runcing, pohon, bunga, menggambar wayang dan lain-lain. Itu kan hanya dekorasi sebagai aksesoris perayaan bukan ritual keagamaan.  Tidak ada perasaan aneh-aneh Pak.”

“Apakah kamu tidak merasa berdosa, atau merasa berkhianat terhadap keyakinan yang kita anut?”

“Ah, saya tidak tahu Pak  kalau urusan dosa, jika berdosa mungkin bukan saya, tapi yang memerintahkan saya untuk menggambar ini, saya kan hanya bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga kami Pak!”

“Oh ya sudah kalau begitu, baik-baik ya kerjanya dan hati-hati jangan sampai goyah” Pak A segera mengakhiri “investigasi”nya sambil bergegas pergi meninggalkan saya karena ada staf yang lain datang meninjau pekerjaan saya.

Saya menangkap maksud Pak A, dengan mengatakan “Hati-hati, jangan sampai goyah”.

Goyah? Ah tidak semudah itu, buktinya sudah 42 tahun setelah itu, saya masih meyakini agama saya ISLAM.

[caption id="attachment_283941" align="aligncenter" width="500" caption="Membuat dekorasi Natal, tahun 70-an. Dok.Pri"]

13870786311013974009
13870786311013974009
[/caption] [caption id="attachment_283942" align="aligncenter" width="500" caption="Betlehem, tahun 80-an. Dok.Pri"]
1387078775107161586
1387078775107161586
[/caption] [caption id="attachment_283943" align="aligncenter" width="500" caption="Natal Di Wisma Karyawan tahun 1982. Dok.Pri"]
1387078903232708628
1387078903232708628
[/caption] [caption id="attachment_283944" align="aligncenter" width="500" caption="Maket Pabrik Teh PTP 8 Kayu Aro tahun 70-an. Dok.Pri"]
1387079074266006002
1387079074266006002
[/caption]

Agama boleh beda tapi kerukunan tetap dijaga.

Keimanan boleh berseberangan namun kita tetap toleran.

*****

Artikel terkait

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/12/16/saya-pernah-dipaksa-mengikuti-perayaan-natal-422525.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun