Mohon tunggu...
PAK DHE SAKIMUN
PAK DHE SAKIMUN Mohon Tunggu... pensiunan penjaga sekolah -

Sedang menapaki sisa usia. Mencari teman canda di dunia maya. Hobi apa saja termasuk membaca dan (belajar) menulis. Bagi saya belajar itu tak berbatas usia. Menuntut ilmu dari ayunan hingga liang lahad. Motto : Seribu orang teman sangat sedikit, dan satu orang musuh terlalu banyak.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengapa Kadang Manusia Bisa Menjadi Seperti Hewan?

14 Desember 2014   15:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:20 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14185219972082952946

[caption id="attachment_341168" align="aligncenter" width="620" caption="Edit pri"][/caption]

Judul di atas saya cuplik dari salah satu kalimat pada paragraf pertama tulisan almarhumah Istanti yang ia tulis pada tahun 2010.

Berikut paragraf tersebut :

Manusia dilahirkan dengan suatu anugerah yang sangat luar biasa, yang membedakannya dari hewan ataupun jenis ciptaan Tuhan yang lainnya. Manusia dikaruniai pikiran yang jelas dan jauh lebih baik dibandingkan makhluk lainnya. Manusia memiliki hati nurani dan perasaan. Tapi mengapa kadang manusia bisa menjadi seperti hewan ya??? Yang tidak memiliki perasaan malu, tega membunuh sesama, dan lain sebagainya. Kita sering melihat bahkan mungkin di sekitar kita sendiri ada orang yang seperti itu. Tidak salah juga kalau ada sebutan hewan lebih memiliki hati nurani daripada manusia. Dalam keluarga hewan saling melindungi satu sama lain, sedangkan manusia ? sering kita melihat pembunuhan anak oleh bapaknya, atau lainnya. Ya memang tidak semua manusia seperti itu. Tetapi perlu juga kita belajar tentang kehidupan dari hewan yang juga sama-sama makhluk Tuhan. Semua kembali kepada diri individu masing-masing dengan meningkatkan kualitas moral kita.

Saya tak hendak mengulas atau meresensi tulisan almarhumah Istanti tersebut. Ada dua tulisannya yang senada(“Dunia dan pikiran manusia” dan “Berbuat dan berkata-kata”), Kedua-duanya ditulis pada 16 Oktober 2010, yakni tentang bagaimana sikap manusia terhadap manusia lainnya. Tak disangka ternyata empat tahun kemudian hal itu menimpa dirinya. Takdir.

Saya hanya ingin mengucapkan bela sungkawa kepada korban dan menanyakan hukuman apakah yang layak dijatuhkan pada pelaku pembunuhan yang keji dan biadab tersebut.

Manusia (makhluk hidup) pasti akan mati. Tak pandang usia; tua, muda, remaja, bahkan bayi masih dalam kandungan sekalipun, jika Tuhan menghendaki pasti akan mati, dengan cara dan waktu yang berbeda. Kita tidak dapat mengelak apalagi menolak. Namun, kita juga tidak tahu seperti apa yang disebut ‘mati kersaning Allah’(wajar).Apakah semua bentuk kematian itu sudah ‘kersaning Allah’? meskipun—menurut pandangan umum—tidak wajar.

Istanti dilenyapkan nyawanya secara tidak wajar. Lantas, hukuman apakah yang layak dijatuhkan kepada pembunuh Istanti? Hukuman mati? Ah jangan! itu berarti melanggar HAM. Apakah pantas si pembunuh dihukum 20 tahun penjara? Itupun masih terlalu berat dibanding dengan perbuatannya membunuh yang hanya memakan waktu tidak lebih dari satu jam, dan ia pun sudah meminta maaf setelah membunuh. Menurut pendapat saya pembunuh Istanti cukup dihukum 1 (satu) hari kurungan saja. Satu hari kurungan? Ya, satu hari dikurung dalam ruang hampa udara. Itu baru adil atau sesuai karena, ia membunuh Istanti dengan cara membekapnya. Dengan hukuman itu, ia akan merasakan apa akibatnya jika tidak menghirup oksigen, tidak usah sampai satu hari, cukup satu jam saja!

Selamat jalan Istanti, semoga diterima di sisiNYA.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun