Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia. Isi dari Inpres ini pada dasarnya adalah pembagian peran antara beberapa kementerian dan lembaga/badan dalam rangka mendukung revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Setidaknya ada sebelas kementerian/lembaga/badan yang tersebut dalam Inpres ini. Selain kementerian/lembaga/badan, kepaLa daerah juga diinstrusikan untuk mendukung dan mensukseskan program revitalisasi SMK. Terlibatnya beberapa kementerian, lembaga, badan, dan para kepala daerah memberikan pesan keberadaan SMK sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia pada saat ini memasuki masa bonus demografi. Bonus demografi adalah keadaan dimana usia produktif lebih banyak dibanding usia tidak produktif. BPS sendiri telah menetapkan rentang usia produktif pada usia 15 s.d. 64 tahun. Pada saat ini jumlah usia produktif kurang lebih 68% dari total penduduk Indonesia, atau kurang lebih 183.360.000. Jumlah yang besar ini tentu merupakan aset apabila bisa dikelola dengan baik.
Sebagaimana jepang yang mampu menjadi negara modern karena mampu mengelola bonus demografi. Setelah perang dunia kedua negara Jepang mengalami apa yang disebut Baby Boom. Baby boom ini menjadikan jepang memiliki sumber daya yang melimpah. Pemerintah jepang kemudian menggenjot proses industrialisasi dengan memanfaatkan limpahan tenaga produktif yang mereka miliki.
Akan tetapi bonus demografi bisa jadi justru menjadi sumber bencana jika negara tidak mampu menyiapkan dengan baik. Usia produktif adalah masa saat memerlukan banyak kebutuhan. Masa produktif adalah masa saat memiliki banyak keinginan. Bisa dibayangkan saat mereka membutuhkan pekerjaan untuk keperluan hidup akan tetapi lapangan kerja terbatas.
Pengangguran tentu akan meningkat pada kondisi tersebut. Beragam penyakit sosial akan berkembang seiring dengan pengangguran yang meningkat ini. Bonus demografi yang seharusnya menjadi berkah bisa jadi justru menjadi bencana bagi bangsa Indonesia.
Bertolak dari pemikiran diatas atas maka revitalisasi SMK adalah sebuah kebutuhan yang harus segera dilakukan. Tujuan SMK pada hakikatnya adalah menciptakan lulusan yang terampil dan berkualitas untuk memasuki dunia kerja. Dengan adanya supply tenaga yang berkualitas dan terampil diharapkan akan mendorong program industrialisasi dan peningkatan ekonomi negara.
Tenaga yang terampil dan berkualitas tentu akan menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas. Saat sebuah negara mampu menyediakan produk dan jasa yang berkualitas tentu potensi permintaan negara lain terkait dengan produk dan jasa dari negara Indonesia akan meningkat. Efek dominonya tentu industri dan ekonomi akan meningkat. Lapangan kerja akan banyak terbuka sehingga mampu menampung bonus demografi yang dialami oleh bangsa Indonesia.
Lingkaran positif akan terjadi saat negara mampu menciptakan lulusan SMK yang terampil dan berkualitas. Lulusan SMK yang terampil dan berkualitas tidak hanya diharapkan menjadi tenaga kerja. Lebih jauh lagi lulusan SMK diharapkan dapat menciptakan banyak lapangan kerja. Negara mempunyai keterbatasan menyediakan lapangan kerja. Masyarakat perlu berpartisipasi secara aktif dalam menciptakan lapangan kerja.
Negara hadir untuk memfasilitasi agar masyarakat mudah dalam menciptakan sebuah usaha. Regulasi dan birokrasi perlu diatur untuk mempermudah dalam membuat sebuah usaha. Kebijakan membatasi impor juga harus dilakukan agar produk dalam negeri bisa berkembang. Lulusan SMK mempunyai peluang untuk untuk menciptakan lapangan kerja. Materi di SMK yang bukan teori akan tetapi ditekankan untuk menciptakan skill adalah modal bagi lulusan SMK dalam menciptakan lapangan kerja. Apalagi materi kewirausahaan juga diberikan di SMK. Revitalisasi SMK Oleh karena itu perlu juga ditekankan untuk lebih menumbuhkan semangat kewirausahaan pada diri lulusan SMK
Urgensi LSP dalam Revitalisai SMK
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentunya mempunyai peran yang paling besar dalam revitalisasi SMK. Salah satu program revitalisasi SMK yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah pelaksanaan uji kompetensi untuk guru kejuruan dan uji kompetensi untuk siswa.Â
Uji kompetensi adalah upaya mengukur kompetensi seseorang apakah sudah sesuai dengan kebutuhan industri. Pelaksanaan uji kompetensi dilakukan di Lembaga Sertfikasi Profesi (LSP).Â
LSP adalah Badan hukum atau bagian dari suatu badan hukum yang merupakan kepanjangan tangan dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dalam pemberian lisensi profesi. Sertifikasi profesi pada hakikatnya merupakan tugas dari BNSP. Akan tetapi karena keterbatasan, BNSP bisa mengalihkan tugas kepada LSP untuk melakukan uji kompetensi. Meski begitu BNSP mempunyai tanggungjawab untuk menjamin bahwa LSP betul-betul melakukan uji kompetensi dengan mekanisme yang profesional sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan oleh BNSP.
Berdasar pedoman BNSP nomor 202 tahun 2014, BNSP membagi LSP menjadi tiga yaitu LSP pihak kesatu, LSP pihak kedua dan LSP pihak ketiga. LSP pihak kesatu terbagi dua yaitu LSP pihak kesatu industri dan LSP pihak kesatu lembaga pendidikan/lembaga pelatihan. Klasifikasi jenis LSP tersebut didasarkan pada badan atau lembaga yang membentuknya dan sasaran sertifikasinya.
LSP pihak kesatu industri adalah LSP yang didirikan oleh industri atau instansi dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap sumber daya manusia lembaga induknya, sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh BNSP. LSP pihak kesatu lembaga pendidikan/pelatihan adalah LSP yang didirikan oleh lembaga pendidikan dan atau pelatihan dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap peserta pendidikan/pelatihan berbasis kompetensi dan /atau sumber daya manusia dari jejaring kerja lembaga induknya, sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh BNSP.
LSP Pihak kedua adalah LSP yang didirikan oleh industri atau instansi dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap sumber daya manusia lembaga induknya, sumber daya manusia dari pemasoknya dan /atau sumber daya manusia dari jejaring kerjanya, sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh BNSP. LSP Pihak Ketiga adalah LSP yang didirikan oleh asosiasi industri dan atau asosiasi profesi dengan tujuan melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja untuk sektor dan atau profesi tertentu sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh BNSP.
Pada program revitalisasi SMK pelaksanaan uji kompetensi untuk guru dilakukan di LSP P2. LSP P2 didirikan oleh PPPPTK sebagai unit `pelaksanan teknis Kementerian Pendidikan danKebudayaan dalam upaya peningkatan kompetensi Guru. Sedangkan pelaksanaan uji kompetensi untuk siswa dilakukan di LSP P1. LSP P1 didirikan di sekolah. Pada saat ini Kementerian dan Kebudayaan mendorong dan memfasilitasi SMK bisa mendirikan LSP.
Sesuai dengan pedoman BNSP nomor 202 tahun 2014 bahwa LSP P1 adalah LSP yang mempunyai tugas melakukan sertifikasi untuk SDM instansi induknya. Sedangkan LSP P2 mempunyai tugas untuk melakukan sertifikasi industri untuk SDM induknya dan SDM jejaring dari instansi induknya. Batasan ruang lingkup sertifikasi ini tentu berimplikasi kepada keberfungsian sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh LSP P1 atau LSP P2. Sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh LSP P1 hanya untuk berlaku untuk kepentingan intansi induknya. Artinya sertifikat yang diterima siswa SMK yang melakukan uji kompetensi di LSP P1 hanya berlaku untuk keperluan sekolah sebagai instansi induk dari LSP P1. Akan tetapi sertikat yang dikeluarkan LSP P1 tidak bisa digunakan sebagai syarat administrasi saat siswa tersebut mencari pekerjaan. Hal ini juga berlaku untuk sertifikasi yang dikeluarkan oleh LSP P2. Sertifikat yang dikeluarkan LSP P2 hanya berlaku untuk internal instansi induknya atau instansi jejaring dari instansi induknya. LSP yang bisa mengeluarkan sertifikat yang sertifikatnya diterima industri adalah LSP P3. Kesimpulannya saat seorang lulusan SMK akan bekerja, dan sebuah sebuah industri mensyaratkan lulusan SMK mempunyai sertifikat uji kompetensi maka lulusan SMK tersebut masih harus ikut uji kompetensi melalui LSP P3 meski dia sudah mempunyai sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh LSP P1.
Perlunya Keterpaduan dan Penyederhanaan
Peningkatan kualitas SMK melalui uji kompetensi adalah hal yang sangat positif. Meski begitu ada beberapa evaluasi terkait dengan pelaksanaan uji kompetensi tersebut. Salah satu perbaikan yang harus segera dilakukan adalah memadukan antara kurikulum dengan materi uji kompetensi. Evaluasi yang dilaksanakan sekolah pada hakikatnya adalah mengukur keberhasilan proses pembelajaran. Sehubungan dengan itu harus ada kesamaan antara materi dengan apa yang akan diujikan. Selain nilai yang mungkin rendah bila tidak ada kesamaan antara materi dengan evaluasi maka hasil evaluasi juga tidak bisa dipakai sebagai alat melakukan judgement terhadap proses pembelajaran.
Persoalannya ini yang terjadi dalam pelaksanaan uji kompetensi melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Uji kompetensi didasarkan kepada Standar Kerja yang berlaku di Industri. Kompetensi ini tercermin dalam dokumen Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Sedangkan materi yang diajarkan di SMK adalah mengacu pada Kurikulum 2013 yang berlaku. Padahal secara unit kompetensi kadang ada perbedaan antara apa yang ada dalam Kurikulum dengan apa yang ada dalam SKKNI. Seharusnya kurikulum berlaku di SMK juga mengacu kepada SKKNI.
Keberadaaan SMK adalah untuk menyiapkan lulusan yang siap pakai untuk bekerja di Industri. Idealnya kurikulum yang berlaku di SMK harus terkait dengan dunia Industri. Ketika kurikulum dan materi uji kompetensi yang dilaksanakan LSP sudah mengacu pada kebutuhan industri maka hasil Uji Kompetensi juga dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan proses pembelajaran.
Evaluasi kedua adalah terkait dengan keberadaan LSP P1 di sekolah apakah diperlukan ataukah lebih baik siswa langsung melakukan uji kompetensi di LSP P3. Seperti yang ada dalam pedoman BNSP keberadaan LSP P1 hanya diperlukan untuk sertifikasi SDM yang ada dalam instansi induknya. Definisi ini berimplikasi sertifikat yang diterbitkan oleh LSP P1 hanya berlaku untuk sekolah tersebut. Sertifikat uji kompetensi tidak akan berlaku saat siswa bekerja di sebuah industri. Sehubungan dengan itu alangkah baiknya kalau pelaksanaan uji Kompetensi bagi lulusan SMK langsung dilaksanakan di LSP P3. Tugas pemerintah adalah memfasiiltasi agar berdiri banyak LSP P3 sesuai dengan kebutuhan Industri.
Selain itu pelaksanaan uji kompetensi melalui LSP P1 juga membebani sekolah. SDM yang berkiprah di LSP P1 tentunya juga guru yang ada di sekolah tersebut. Satu sisi sekolah juga masih dituntut untuk melaksanakan ujian praktik sesuai dengan tuntutan kurikulum. Tentunya ini menjadi beban bagi sekolah. Siswa tentunya juga akan terbebani apabila harus dua kali mengikuti uji kompetensi. Sehubungan dengan itu alangkah baiknya kalau kalau uji kompetensi dipadukan dengan ujian praktek Sekolah tidak perlu ada uji kompetensi melalui LSP P1 akan tetapi model ujian praktek yang dilakukan sekolah mengadop pelaksanaan uji kompetensi. Apabila ujian praktek mengadop kepada pelaksanaan uji kompetensi juga akan memberikan pengalaman saat siswa nanti mengikuti uji kompetensi di LSP P3. Gambaran ideal terkait dengan hubungan antara kebutuhan industri, kurikulum, dan uji kompetensi dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H