Pendidikan Kejuruan memasuki babak baru. Babak baru ini ditandai dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan. Â Revitalisasi SMK ditujukan untuk menyambut gelombang besar revolosi industri 4.0. Gelombang revolusi industri 4.0 Â mempunyai dampak yang besar terhadap pengetahuan dan teknologi. Keluarnya satu produk teknologi akan memicu produk teknologi yang baru. Â Agar bisa bersaing dalam era revolosi industri 4.0 untuk itu diperlukan tenaga kerja terampil, kreatif, dan inovatif. Pemerintah oleh karena itu sudah tepat menggulirkan program revitalasi SMK.
Upaya peningkatan kompetensi lulusan SMK salah salah satunya dengan program pemberian sertifikat kompetensi lulusan SMK. Sertifikat kompetensi untuk menjamin bahwa lulusan SMK mempunyai kompetensi sesuai dengan kebutuhan industri. Sertfikat kompetensi juga sebagai sarana branding lulusan SMK. Siswa yang mendapatkan sertifikat kompetensi diharapkan akan lebih mudah diterima bekerja di industri. Agar bisa mendapatkam sertifikat kompetensi siswa  mengikuti uji kompetensi melalui Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Satu (LSP-P1).Â
LSP adalah kepanjangan tangan dari BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sebuah badan resmi yang didirikan oleh pemerintah untuk melakukan  pengembangan standar kompetensi dan melakukan uji kompetensi profesi. Karena keterbatasan BNSP, maka BNSP memberikan ijin kepada lembaga di luar BNSP untuk melakukan proses uji kompetensi.Â
Tentu ada mekanisme dan ketentuan sebuah lembaga bisa menjadi LSP. Berdasar Peraturan Badan Nasional Sertifikasi Profesi Nomor: 2/BNSP/III/2014 tentang pedoman pembentukan lembaga sertifikasi profesi, LSP dibagi menjadi 4 yaitu LSP-P1 untuk industri, LSP P1 untuk dunia pendidikan, LSP-P2, dan LSP-P3. LSP-P1 untuk industri adalah LSP yang diberikan kewenangan untuk melakukan uji kompetensi bagi karyawan mereka sendiri.Â
LSP P1 Pendidikan adalah LSP yang didirikan oleh lembaga pendidikan dan atau pelatihan dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap peserta pendidikan/pelatihan berbasis kompetensi dan /atau sumber daya manusia dari jejaring kerja lembaga induknya, sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh BNSP. Â LSP-P2 adalah LSP yang melakukan uji komoetensi kepada karyawan dari organisasi/lembaga/perusahaan lain, dimana organisasi/lembaga/perusahaan lain tersebut merupakan suplier atau agen yang memasok kebutuhan. Â LSP-P3 adalah LSP yang diberikan kewengan oleh BNSP untuk melakukan uji kompetensi kepada karyawan organisasi/lembaga/perusahaan lain untuk kepentingan nasional. Sehubungan program uji kompetensi bagi lulusan SMK, maka pelaksanaan uji kompetensi bagi siswa tersebut dilakukan di LSP-P1.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada saat ini mendorong agar semua siswa SMK bisa mendapatkan sertifikat kompetensi. Untuk mendukung program ini 327 SMK sudah bisa mendirikan LSP P1. Jumlah ini tentunya masih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah lulusan SMK setiap tahunnya. Pemerintah tentunya akan mendorong agar SMK yang belum menjadi LSP untuk berbenah sehingga bisa segera mendapatkan lisensi LSP.
Apakah dengan menjadikan SMK menjadi LSP maka lulusan SMK bettul-betul akan meningkat kualitasnya, sehingga mudah di terima industi. Tentunya kalau perubahan secara masif belum bisa terwujud dalam dekat ini. Bagaimanapun setiap perubahan pasti membutuhkan kesabaran untuk mencapai hasilnya. Setiap pihak perlu bersabar dalam hal ini. Bersabar untuk tidak segera menuntut hasil dalam waktu dekat. Perubahan memang membutuhkan kesabaran. Perubahan juga membutuhkan energi tambahan, sehingga para pelaku perubahan selalu dalam irama positif dalam jangka waktu beberapa tahun.
Selama masa perubahan tersebut, evaluasi proses perlu terus untuk dilakukan. Setiap adalah kelemahan yang akan menghambat keberhasilan perlu segera dibenahi. Kritik dan saran dari semua elemen masyarakat perlu diterima dan dijadikan dasar pertimbangan untuk melakukan perubahan. Minimal ada 3 elemen yang perlu dilihat kembali terkait dengan proses uji kompetensi. Pertama adalah terkait dengan SKKNI, kualitas dan integriras assesor, serta komunkasi dengan indusri.
Untuk keperluan assesment BNSP sudah membuat SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia). SKKNI berisi kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang tenaga kerja saat bekerja. SKKNI dikembangkan dengan mengacu kepada kebutuhan industri. SKKNI ini kemudian dipakai sebagai dasar pengembangan Instrumen uji kompetensi dikembangkan dengan mengacu kepada SKKNI ini. Seiring dengan revolusi industri 4.0, perlu dilihat lagi apakah SKKNI yang sudah ada sudah sesuai dengan era industri 4.0.Â
Apabila SKKNI yang sudah ada belum sesuai dengan era industri 4.0, maka perlu dilakukan revisi terhadap SKKNI yang sudah ada. Apabila tidak dilakukan review maka uji kompetensi yang dilakukan LSP juga tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Dampaknya tentunya penolakan dunia industri menggunakan lulusan SMK, meski lulusan SMK tersebut sudah mengantongi sertfikat kompetensi.
Faktor kedua agar program uji kompetensi melalui LSP ini berhasil adalah profesionalitas dan integritas Assesor. Profesionalitas terkait dengan kompetensi assesor dengan apa yang diujikan. Artinya harus benar-benar dicari Assesor yang mempunyai kompetensi dalam pelaksanaan assesment. Ada dua kompetensi  yang harus dimiliki seseorang saat melakukan uji kompetensi. Pertama adalah kompetensi manajemen Assesment. Kompetensi manajemen assesment meliputi kemampuan assesor menyiapkan perangkat assesment.Â