Â
Abdullah bin Mas'ud menceritakan sebuah kisah yang menarik. "Tatkala kami sedang bersama Rasulullah saw untuk menulis", ujarnya, "Beliau saw ditanya, 'Kota manakah kota yang terlebih dahulu dibuka, apakah Qasthanthiniyah (Konstantinopel) ataukah Rumiyah (Roma)?"Â
Beliau Saw menjawab, "Yang dibuka terlebih dahulu adalah kota Heraklius, yaitu Konstantinopel" (HR. Ahmad, Ad-Darimi dan Al Hakim).
Nabi saw menyebutkan dua nama kota besar dunia, yaitu Konstantinopel dan Roma. Kota pertama yang disebutkan oleh Nabi Saw, dan disebutkan akan dibebaskan pertama kali oleh umat Islam, adalah Konstantinopel.
Mayoritas penduduk Konstantinopel pada masa Kekaisaran Byzantium beragama Kristen Ortodoks. Pada abad ke-6, ketika Heraklius menjadi kaisar Byzantium, Rasulullah Saw menyurati sang kaisar untuk masuk ke dalam agama Islam. Namun sang kaisar tidak mengikuti seruan itu.
Semangat pembebasan Konstantinopel telah tampak sejak masa para sahabat Nabi Saw. Salah seorang sahabat, Abu Ayyub Al-Anshari, telah ikut serta dalam upaya pembebasan Konstantinopel pertama kali pada tahun 44 Hijriah.
Abu Ayyub syahid dalam usia 80 tahun. Ia berwasiat agar jasadnya dikuburkan pada titik terdekat dengan Konstantinopel yang mampu dicapai pasukan kaum muslim pada waktu itu.
Pembebasan Konstantinopel sebagaimana pernyataan Nabi Saw, baru terjadi 8 abad kemudian. Upaya penaklukan dan pembukaan kota Konstantinopel berlangsung hampir dua bulan lamanya, sejak 6 April 1453 sampai 29 Mei 1453.
Atas izin Allah, pada tanggal 29 Mei 1453, kota dengan benteng legendaris yang tak tertembus itu akhirnya ditaklukkan pasukan Islam di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad Al-Fatih alias Sultan Mehmet II.
Muhammad Al-Fatih adalah Sultan ke-7 Turki Utsmani, ia berhasil memimpin penaklukan Konstantinopel ketika usianya baru 21 tahun. Sangat muda belia.
Ia telah berhasil membuktikan nubuat Nabi Muhammad Saw tentang penaklukan Konstantinopel, 8 abad sebelumnya. Setelah berhasil membebaskan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih mengganti nama kota tersebut menjadi Islam Bul yang berarti kota Islam.
Muhammad Al-Fatih menyatakan, "Kita menaklukkan Konstantinopel bukan untuk menguasainya, melainkan untuk memompa darah baru di aliran darahnya. Seperti seekor ular yang mengganti kulitnya dan merasakan kesegaran, kita juga akan memberikan Konstantinopel kulit baru dan di sana akan dibentuk taman kemanusiaan".
Ucapan ini dibuktikan dengan tindakan nyata. Di kota Islam Bul itu Muhammad Al-Fatih kemudian membangun sekolah, pasar, perumahan, dan rumah sakit. Ia melindungi segenap penduduk, termasuk yang beragama Nasrani maupun Yahudi. Ia menggratiskan pendidikan untuk setiap warga dan bahkan menyediakan rumah untuk pada pendatang yang mencari nafkah di kota itu.
Kisah Para Pemandu Wisata Turki
Ketika berwisata ke Turki bersama rombongan, kita akan didampingi oleh seorang pemandu wisata (tour guide) asli Turki yang pandai berbahasa Indonesia. Mereka akan mendampingi kita sepanjang perjalanan di Turki, dan mengarahkan ke destinasi yang "wajib" maupun yang "sunah".
Sayangnya, sangat banyak pemandu wisata Turki yang tidak mengenal sejarah kejayaan Islam di Turki. Mereka tidak menarasikan apapun tentang perjuangan Al-Fatih, tentang kisah heroik penaklukan Konstantinopel yang monumental, ataupun tentang suasana pemerintahan Islam di Islam Bul yang sangat damai dan bijaksana.
Para turis asal Indonesia banyak yang sudah menyelesaikan menonton serial film "Dirili: Ertugrul" atau "Kebangkitan Ertugrul". Sebuah film yang mengisahkan perjuangan Ertugrul Bey, yang kelak mendirikan Kekaisaran Turki Utsmani. Diceritakan bagaimana Ertugrul berjuang mempertahankan keimanan, keadilan, dan kebenaran di tengah konflik dengan Kekaisaran Bizantium dan bangsa Mongol.
Ada pula yang telah menyimak film "Payitaht: Abdulhamid", sebuah film serial yang mengangkat kisah kehidupan Sultan Abdulhamid II, sultan terakhir dari Kekaisaran Turki Utsmani. Serial ini menampilkan wajah pemerintahan Sultan Abdulhamid yang penuh dengan perjuangan dalam menghadapi ancaman Barat, Zionisme, dan kekuatan kolonial lainnya.
Saat berkunjung ke Istambul, Bursa dan daerah lainnya, banyak wisatawan Indonesia kecewa karena tidak mendapatkan narasi tentang kepahlawanan Abu Ayyub, Muhammad Al-Fatih ataupun Sultan Abdulhamid II. Tidak ada cerita tentang Al-Fatih belajar banyak bahaa, membaca banyak kitab, serta menyusun strategi penaklukan Konstantinopel.
Shelda, tour guide yang menemani rombongan saya selama tujuh hari di Turki, hanya menarasikan soal Turkish Delight, karpet dan kerajinan Turki, jaket kulit, perhiasan asli Turki, serta berbagai tempat wisata eksotis di Turki. Dia fasih "memaksa" para anggota rombongan tur untuk berbelanja di berbagai gerai yang "diwajibkan" oleh kebijakan Pemerintah.
Shelda dan para pemandu wisata lain di Turki, banyak yang beragama Islam. Namun kita tidak tahu apakah mereka juga melaksanakan ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa Ramadan, dan lain sebagainya. Setidaknya, Shelda tidak mengenakan kerudung atau jilbab selama menemani kami.
Ketika ditanya apakah Shelda mengerti film Ertugrul, dia tertawa dan menyatakan, "Orang Indonesia lebih banyak menonton film Turki daripada orang Turki". Dia benar-benar tidak memberikan keterangan apapun selama memasuki kawasan Aya Sofia atau Hagia Sophia, Istana Topkafi, Masjid Biru dan sekitarnya. Semua anggota rombongan dibiarkan masuk kawasan tanpa pendampingan dan tanpa narasi saat di bus.
Para Pencari Nafkah, Bukan Ahli Sejarah
Kita tidak menyalahkan Shelda dan tour guide Turki lainnya. Mereka bekerja mencari nafkah dengan berbekal kemampuan wisata dan bahasa Indonesia. Mereka bukan ahli sejarah.
Mungkin, mereka juga menjaga 'netralitas' --karena tidak mengetahui rombongan turis dari jenis 'ideologi' yang mana? Apakah kaum pecinta Al-Fatih, atau kaum pembela Attaturk? Shelda dan tour guide lainnya tak mau pusing soal seperti itu. Silakan mengambil pelajaran masing-masing selama di Turki, kira-kira begitu pikiran mereka.
Maka alangkah baiknya, para penikmat Ertugrul dan pecinta Al-Fatih hadir dengan mempersiapkan bekal ilmu sejarah penaklukan Konstantinopel. Syukur bisa hadir bersama ahli sejarah Islam seperti Salim A. Fillah, Hepi Andi Bastoni, Deden A. Herdiansyah, dan lain sebagainya. Mereka yang akan menarasikan sejarah dengan tepat dan bersemangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H