Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menyebut perceraian sebagai isu besar. "Ada satu isu besar di Indonesia yang perlu dicermati bersama, tapi tidak diangkat sebagai isu besar. Saya pribadi (menganggap), ini (adalah) isu besar, yaitu angka perceraian," ungkap Nasaruddin dalam rapat kerja dengan Komite III DPD RI di Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2024).
Menag menegaskan, tidak ada negara yang ideal dari masyarakat yang berantakan. Tidak ada negara yang dapat berdiri kokoh di atas rumah tangga dan masyarakat yang bermasalah. "Pembinaan keluarga harus diperkuat," ujarnya. Nasarudin menyebut perceraian banyak disumbang oleh pasangan muda dengan usia pernikahan 5 tahun ke bawah.
Meskipun angka perceraian di tahun 2023 menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun jumlahnya masih sangat tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 463.654 kasus. Jumlah ini mengalami penurunan pertama sejak pandemi Covid-19 sebesar 10,2% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 516.344 kasus.
Berdasarkan data dari website Mahkamah Agung Republik Indonesia, angka perceraian di Indonesia di pertengahan tahun 2024 mencapai 168.889 kasus, dan menjelang akhir tahun 2024 mencapai 410.175 kasus. Belum ada laporan resmi jumlah perceraian di Indonesia hingga akhir tahun ini. Tentu kita semua berharap angka perceraian sepanjang 2024 kembali menurun dari tahun sebelumnya.
Rapor Merah: Hubungan Toksik?
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), penyebab perceraian terbanyak pada tahun 2022 karena perselisihan dan pertengkaran. Jumlahnya mencapai 284.169 kasus atau sekitar 63,41 % dari total faktor penyebab perceraian yang terjadi di Indonesia. Sedangkan pada 2023, dari 408.347 kasus perceraian di Indonesia, sebanyak 251.828 di antaranya disebabkan faktor perselisihan dan pertengkaran, atau setara dengan 62% kasus perceraian.
Perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami istri dan tidak ada kemampuan mencari solusi, telah mendominasi alasan perceraian sepanjang dua tahun berturutan. Hal ini menjadi indikasi adanya hubungan toksik, yang tidak mampu mengelola konflik dengan baik.
Data tersebut memberikan gambaran bahwa sangat banyak pasangan suami istri di Indonesia yang gagal mengelola konflik dalam pernikahan. Tentu saja sangat banyak sebab, mengapa pasangan suami istri tidak mampu mengelola konflik. Salah satunya terkait dengan cara memahami realitas konflik dan cara menemukan solusi untuk keluar dari konflik.
Konflik pasangan suami istri adalah hal yang wajar dan dapat terjadi pada pernikahan yang bahagia sekalipun (Gradianti & Suprapti, 2014). Konflik dalam pernikahan dapat bersifat konstruktif maupun destruktif. Konflik konstruktif dicirikan dengan adanya interaksi pasangan suami istri yang saling belajar, bersifat fleksibel, dan fokus pada relasi dan Kerjasama. Konflik seperti ini berdampak menyehatkan relasi dan kesehatan mental (Greef & Bruyne, 2000).
Sedangkan konflik destruktif dicirikan dengan perilaku menghindar, tidak membicarakan konflik secara terbuka, serta komunikasi verbal dan non verbal yang buruk (Greef & Bruyne, 2000). Konflik yang destruktif dapat merusak relasi pernikahan dan mengganggu kesehatan mental (Greef & Bruyne, 2000).
2025: Belajar Mengelola Konflik
Konflik suami istri dapat bernilai positif maupun negatif, tergantung cara individu mengatasi konflik tersebut, atau pilihan gaya resolusi konflik (Thomas & Kilmann, 1974). Hasil penelitian Stinson et.al. (2017) menunjukkan gaya resolusi konflik yang digunakan pasangan suami istri secara bervariasi dapat berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan.
Stinson (2017) juga menyebutkan pasangan suami istri yang mampu mengelola dengan cara yang konstruktif cenderung dapat memahami kebutuhan pasangannya dengan lebih baik, yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan pernikahan. Sebaliknya, pasangan suami istri yang yang tidak dapat mengelola konflik dengan konstruktif akan mengalami ketidakpuasan pernikahan (Stinson, et al., 2017).
Stinson juga menyebutkan, gaya resolusi konflik yang tepat akan meningkatkan kedekatan (closeness) hubungan antarindividu dengan pasangan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepuasan pernikahan (Stinson, et al., 2017). Dengan demikian, konflik yang mampu dikelola secara konstruktif justru akan meningkatkan kualitas hubungan suami istri.
Untuk itulah, Kementrian Agama RI sepatutnya memiliki program edukasi terhadap pasangan suami istri secara bertahap dan berkelanjutan. Salah satu yang perlu dipelajari adalah manajemen konflik dalam rumah tangga, agar pada tahun 2025 semakin sedikit perceraian dan semakin kokoh ketahanan keluarga Indonesia.
Bahan Bacaan
Abraham P. Greeff & Tanya DeBruyne, Conflict Management Style and Marital Satisfaction, Journal of Sex and Marital Therapy, 26, 321-334 (2000).
Kenneth W. Thomas & Ralph H. Kilmann, Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument, https://www.researchgate.net (1976)
Mahkamah Agung RI, Putusan Register Tahun 2024: Perceraian, https://putusan3.mahkamahagung.go.id, diakses 13 Desember 2024
Morgan A. Stinson et.al., Marital Satisfaction, Conflict Resolution Styles, and Religious Attendance among Latino Couples: Using the Actor-partner Interdependence Model, The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, 25(3), 215-223 (2017).
M. Iqbal Al Machmudi, Menag Menyoroti Kasus Perceraian yang Masih Tinggi di Indonesia, https://mediaindonesia.com, 2 Desember 2024
MP. Pamungkas & Melok R. Kinanthi, Hubungan Antara Gaya Resolusi Konflik dan Kepuasan Pernikahan pada Remaja yang Telah Menikah, November 2022, Personifikasi Jurnal Ilmu Psikologi 13(2):78-89
T. Aitta Gradianti & Veronika Suprapti, Gaya Penyelesaian Konflik Perkawinan pada Pasangan Dual Earner, Jurnal Psikologi dan Perkembangan, 3(3), 199-206 (2014). Â Â
Wilhelmina AV Putri Arbeth, Kasus Perceraian Indonesia Turun pada Tahun 2023, https://data.goodstats.id, 29 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H