Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

"The Fear Factor" dalam Pernikahan

7 Oktober 2024   19:09 Diperbarui: 7 Oktober 2024   22:06 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/

Marriage is scary. Ini ungkapan yang banyak dilontarkan generasi Z. Benarkah fenomena ini terjadi secara nyata, atau hanya sekedar konten penghiasmedia sosial?

Survei yang dilakukan Dian Kinayung, dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, memberikan informasi yang menarik. Survei tersebut melibatkan 196 mahasiswa, dengan rentang usia 17-25 tahun. Ditemukan, sebanyak 84 % responden mengaku memiliki ketakutan untuk menikah.

Alasan yang disampaikan oleh responden sangat beragam. Alasan terbanyak adalah derasnya informasi di media sosial atau media online mengenai sisi negatif pernikahan. Banjirnya konten media sosial yang viral dan memberikan informasi mengenai permasalahan pernikahan membuat mereka menyimpan kekhawatiran tentang pernikahan.

Problem kehidupan pernikahan seperti KDRT, terlantarnya anak, persoalan ekonomi, istri yang menjadi tulang punggung keluarga, dan lain sebagainya, menjadi faktor pemicu trauma pernikahan. Apalagi informasi tersebut kerap divisualisasikan melalui video, diunggah melalui youtube, tiktok dan instagram. Derasnya informasi semacam itu seakan menjadi teror bagi mereka.

Beberapa Bentuk Ketakutan Menikah

Sepanjang pengamatan saya dari berbagai kelas pranikah, ketakutan yang biasa muncul pada generasi Z saat ini adalah:

  • Ketakutan kehilangan kebebasan

Diketahui generasi Z sangat menganggap penting kebebasan. Mereka takut kehilangan kebebasan setelah menikah. Menganggap pernikahan menjadi faktor yang menghilangkan kebebasan mereka; berubah menjadi kehidupan yang terikat.

  • Ketakutan kehilangan kebahagiaan

Dampak dari hilangnya kebebasan, mereka takut kehilangan kebahagiaan. Selama masa lajang mereka menikmati kebahagiaan dengan berbagai ekspresi. Seakan tidak memiliki beban apapun untuk dipikirkan. Setelah menikah harus memikirkan sangat banyak hal.

  • Ketakutan terjebak dalam penjara yang menyiksa

Banyak informasi mengenai pernikahan yang berubah menjadi penjara yang menyiksa. Penjara yang menakutkan, yang akan berlangsung seumur hidup. KDRT yang dialami beberapa selebgram, menjadi legitimasi ketakutan mereka.

  • Ketidakpastian masa depan

Kondisi ekonomi yang tidak menentu dan cenderung berat, membuat banyak generasi Z yang ketakutan membayangkan masa depan. Harga rumah, harga kebutuhan pokok, harga BBM makin melonjak; terbayang betapa besar kebutuhan. Sementara penghasilan tidak beranjak naik.

  • Tekanan untuk memenuhi harapan sosial

Di Indonesia, kehidupan sosial sangat kuat. Satu sisi ini sangat bagus untuk menjadi daya dukung kebaikan.  Namun di sisi lain, tak jarang menimbulkan tekanan psikologis, karena terlalu banyak harapan yang dibebankan. Harapan tentang keharmonisan pernikahan, tentang kesuksesan, dan tentang kebahagiaan.

  • Ketakutan kegagalan menikah

Ujung dari semua ketakutan adalah ketakutan gagal menjalani kehidupan pernikahan. Banyak pernikahan seumur jagung. Banyak keluarga berantakan, yang akhirnya mentelantarkan anak-anak tak berdosa. Ini menjadi ketakutan yang sangat besar pada banyak generasi Z.

Harapan Kebaikan Selalu Terbuka

Ketakutan itu semuanya sangat nyata dan sekaligus sangat manusiawi. Tak ada satupun orang yang bsanggup hidup dalam penjara yang menyiksa. Tak ada yang bahagia dengan perlakukan keras dan kasar yang dilakukan orang tercinta.

Upaya paling basic adalah edukasi. Semua pihak harus belajar, dan terus menerus bersedia belajar. Tak cukup hanya dengan perasaan cinta, pernikahan wajib dibangun dengan ilmu dan kesiapan mental spiritual, juga kesiapan finansial dan sosial.

Orangtua harus menanamkan fondasi nilai-nilai bagi anak-anak sejak di rumah. Keharmonisan ayah dan ibu menjadi model utama bagi anak-anak saat mereka menjalani kehidupan pernikahan. Maka tak layak pasangan suami istri mengedepankan ego saat menghadapi konflik. Korbannya adalah anak-anak, mereka kehilangan contoh keteladanan.

Sekolah wajib membangun karakter positif dalam jiwa anak didik. Kurikulum merdeka harus memasukkan mata pelajaran yang menekankan adab mulia terhadap sesama. Sebagai pribadi, sebagai suami, sebagai istri, sebagai anak, sebagai orangtua, harus mengedepankan adab dalam interaksi dengan pihak lain.

Masyarakat harus memberikan lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya guyub rukun dalam setiap keluarga. Tokoh masyarakat, lingkungan masjid, dan lingkungan sosial hendaknya memberikan pengaruh positif untuk hadirnya suasana saling menghormati dan saling menghargai satu dengan yang lainnya.

Pemerintah harus melindungi keluarga dengan kebijakan yang positif. Plus upaya edukasi kepada masyarakat luas untuk mewujudkan keluarga harmonis, bahagia dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun