Semua orang menghendaki pernikahan yang harmonis dan bahagia, langgeng hingga akhir usia. Namun terkadang keinginan ini tak terwujudkan, disebabkan penderitaan yang tak berkesudahan.
Perbuatan KDRT menjadi salah satu penyebab rusaknya kebahagiaan dalam pernikahan. Canda tawa sebagai pasangan kekasih mendadak berubah derita tak terhingga.
KDRT telah menjadi momok bagi ketahanan keluarga. Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy, menyatakan bahwa sebanyak 34.682 perempuan menjadi korban tindak kekerasan sepanjang 2024. Simak beritanya di sini. Demikian pula, tren perceraian karena KDRT masih marak di Indonesia.
Berita terbaru tentang seorang selebgram cantik yang dianiaya oleh suaminya, menjadi notifikasi betapa kekerasan selalu menghasilkan penderitaan. Selebgram tersebut mengaku telah mengalami KDRT selama lima tahun pernikahan. Kini ia mengadukan kasusnya ke pihak berwenang.
Sang ayah memberikan saran, "Kamu serahkan semua persoalan yang kamu hadapi kepada Allah, dan biarlah Allah yang menyelesaikan dengan caranya Allah". Sang ayah juga mendukung tindakan anaknya membawa masalah ini ke ranah hukum. "Kamu curahkan semua masalahmu di pengadilan, selesaikan di pengadilan saja," ujar sang ayah.
Rupanya ia sudah pernah dua kali berupaya mengajukan gugat cerai, namun gagal. Apakah tindakan KDRT bisa menjadi alasan legal formal untuk mengajukan perceraian?
Alasan Legal Formal yang Membolehkan Perceraian
Peraturan Pemerintah nomer 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, telah memberikan batasan tentang alasan yang membolehkan terjadinya perceraian. Dalam pasal 19 PP 9/1975 dinyatakan, "Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;